Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Formasi Cpns Khusus Disabilitas, Modus Pencitraan Kah?

Jakarta, Kartunet – Setelah sekian usang menunggu, kesannya isu mengenai gugusan khusus disabilitas di CPNS tahun ini terbit di situs Panselnas. Tertinggal jauh dari awal pembukaan resmi CPNS 2014 pada 24 Agustus lalu, gres pekan ini isu tersebut sanggup diakses meski periode pengiriman lamaran belum dibuka. Ini merupakan realisasi komitmen dari menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) beberapa bulan kemudian bahwa akan ada 300 lowongan untuk pelamar disabilitas di CPNS 2014. Meski begitu, apakah betul sudah ideal?


Informasi mengenai 300 gugusan khusus disabilitas tersebut sanggup dilihat pribadi pada website Panselnas. Memang ada perubahan yang cukup signifikan dari segi jumlah dibanding dengan quota gugusan untuk penyandang disabilitas pada CPNS tahun lalu. Selain itu, sistem pelamarannya juga diintegrasikan dengan institusi dalam gugusan umum. Akan tetapi, ada beberapa hal yang sifatnya sangat fundamental yang perlu dikritisi dalam gugusan khusus tersebut.


Pertama, gugusan khusus ternyata hanya dibuka di dua institusi ialah Kementrian Sosial (Kemsos) dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Hal ini agak mengecewakan sebab komitmen 300 gugusan tersebut tidak disebarkan secara merata ke aneka macam institusi dan forum yang membuka lowongan CPNS tahun ini. Meski hal itu masih sanggup ditoleransi apabila ingin dianggap sebagai awalan.


Kedua, sistem yang diterapkan dengan persyaratan latar belakang pendidikan ditambah jenis disabilitas makin mempersempit kesempatan penyandang disabilitas menentukan lowongan. Jika ingin ditelaah lagi, gugusan khusus disabilitas ini sejatinya lebih mempersulit dibandingkan dengan gugusan umum. Seperti teladan seorang tunanetra yang sangat menguasai komputer office dan juga internet dengan latar belakang Pendidikan Bahasa Indonesia. Dia tak sanggup melamar posisi Pranata Komputer sebab persyaratannya haruslah lulusan S1 Ilmu Komputer dan juga tunanetra. Dalam hal ini hukum tersebut makin menyulitkan sebab harus memenuhi dua parameter sekaligus.


Ketiga, pembagian lowongan berdasar jenis disabilitas ini ternyata masih dilakukan dengan asesmen sepihak yang tidak mengamati kondisi faktual penyandang disabilitas di lapangan. Mereka masih melihat penyandang disabilitas dari keterbatasannya dan dengan itu berasumsi bahwa mereka hanya sanggup mengerjakan hal-hal tertentu saja. Padahal di kurun pendidikan inklusif ini, penyandang disabilitas sudah mulai mengambil jurusan kuliah yang sesuai dengan minat, tidak lagi hanya Pendidikan Luar Biasa atau Kesejahteraan Sosial.


Bahkan, ada di beberapa lowongan yang dibuka untuk jenis disabilitas tertentu, syarat latar belakang pendidikan yang ditetapkan belum sanggup diakses oleh jenis disabilitas tersebut. Misal pada posisi pranata komputer yang di sana dibuka untuk tunanetra dengan syarat pendidikan D3 Sistem Komputer. Faktanya, kami belum pernah menemukan ada seorang tunanetra yang mengambil kuliah S1 Komputer apalagi jadwal D3. Sebab selama ini jurusan tersebut masih dianggap tidak aksesibel untuk tunanetra. Padahal banyak tunanetra yang sudah sangat jago mengoperasikan komputer dan internet dengan perangkat screen reader, meski tidak berlatar belakang pendidikan komputer.


Bentuk kebodohan yang dikemas dengan arogansi pembuat kebijakan untuk gugusan khusus disabilitas ini harus segera dikoreksi. Jangan hingga niat baik yang selalu didengung-dengungkan tapi tanpa disertai dengan pengetahuan dan rasa tenggang rasa yang cukup, malah berakibat fatal bagi penyandang disabilitas. Selain itu, cobalah membuka pandangan dan berfikiran lebih sederhana ketika melihat disabilitas. Jangan dari sisi kekurangannya dulu mereka dipandang, tapi lihatlah apa yang sanggup dilakukan, gres yang kekurangan itu coba difasilitasi dengan solusi.


Apabila memang pemerintah, dalam hal ini Kementrian Sosial sebagai leading sector disability dan Kementrian PAN dan RB selaku recruter punya itikat untuk meninggikan derajat penyandang disabilitas, bergotong-royong tak perlu rumit-rumit dalam seleksi CPNS. Cukup memutuskan kuota pada semua institusi tanpa syaarat jenis disabilitas tertentu. Bahkan kalau perlu syarat latar belakang pendidikan sanggup diperlunak dengan menyertakan sertifikat kursus atau skill yang memang diharapkan untuk posisi tersebut.


Dengan itu, para pelamar disabilitas sanggup lebih leluasa dalam menentukan lowongan yang diadaptasi antara jobdesc dengan kemampuan yang dimiliki. Bukankah dalam seleksi CPNS ada beberapa tahap mulai Tes Kompetensi Dasar, Tes Kompetensi Bidang, hingga Tes Kompetensi Khusus atau sesi wawancara? Biarkan mereka melamar sesuai dengan minat dan estimasi kemampuannya. Bantu untuk pendampingan aksesibilitas ketika mengerjakan soal-soal ujian. Lalu apabila memang lolos tes di semua tahap, uji apakah mereka nanti sanggup mengerjakan jobdesc dalam pekerjaan yang dilamarnya. Apabila memang bisa dengan disertai akomodasi aksesibilitas yang mendukung, maka tak ada alasan lagi untuk menolak mereka dengan persaingan yang lebih fair berdasar kompetensi.


Tak sanggup lagi penyandang disabilitas dianggap menyerupai “setengah Manusia” yang tak mempunyai fikiran dan hak untuk menentuka nasibnya. Jangan pemerintah menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling tahu segalanya mengenai diri penyandang disabilitas. Beri kebebasan, dan pemerintah cukup menjamin sisi aksesibilitas tanpa diskriminasi. Toh kalau memang mereka tidak lolos dikarenakan tak bisa memenuhi standar kualitas yang ditentukan, itu bukan jadi problem selama sisi aksesibilitas itu sudah dijamin.


Semoga ada perubahan segera dalam CPNS 2014 yang sudah mengalokasikan gugusan khusus untuk penyandang disabilitas. Semoga niat baik tersebut juga tak hanya jadi modus pencitraan belaka pemerintah yang ingin dianggap peduli, padahal tidak ada niat yang sungguh-sungguh.(DPM)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Formasi Cpns Khusus Disabilitas, Modus Pencitraan Kah?"