Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tunanetra Dan Buku Elektronik

Jakarta – Salah satu duduk kasus fundamental yang dialami oleh tunanetra yakni kanal pada buku. Kemampuan penglihatan yang terbatas, menyebabkan sebuah tantangan untuk menyerap informasi dalamb buku yang biasanya berformat visual atau goresan pena cetak. Solusi klasik untuk itu yakni dengan mengkonversi buku-buku dalam format karakter braille atau goresan pena timbul yang sanggup diakses oleh tunanetra. Namun sesuai dengan kemajuan zaman, muncul buku bicara berbentuk audio dan sekarang berkembang jadi buku elektronik atau E-book. Bagaimana buku elektronik menjawab tantangan kanal buku untuk tunanetra?


Huruf braille menjadi kebutuhan dasar literasi seorang tunanetra, layaknya karakter awas atau goresan pena tangan untuk orang berpenglihatan (sighted person). Kedudukannya tak sanggup tergantikan meski zaman sudah makin berkembang dan desakan untuk menulis secara manual tergantikan oleh tombol-tombol pada keyboard. Saat seorang anak yang mengalami keterbatasan penglihatan semenjak lahir atau mulai ketika usia dewasa, perlu mencar ilmu membaca dan menulis karakter braille. Sebab parameter seorang tunanetra sudah terliterasi ada pada kemampuan baca dan tulis karakter braille.


Akan tetapi, buku yang dibentuk memakai karakter braille pun bukan tanpa kendala. Persoalan utama yakni mengenai biaya dan sisi kepraktisan. Untuk memproduksi buku braille, diharapkan software khusus untuk konversi dari goresan pena latin biasa ke karakter braille yang lalu dicetak dengan printer khusus braille pula. Printer ini berbeda dengan alat cetak elektronik pada umumnya yang memakai tinta. Ujung cetak printer braille berupa jarum-jarum yang akan membentuk titik-titik timbul pada kertas yang lalu menyusun huruf-huruf braille. Karena keistimewaannya itu, maka harga printer braille pun jauh lebih mahal dibanding printer biasa. Untuk satu unit, sanggup mencapai harga puluhan hingga ratusan juta. Maka dari itu, banyak printer braille yang dipakai di forum yang memproduksi buku braille di Indonesia yakni dukungan dari negara asing.


Selain itu, untuk produksi buku braille pun perlu kertas khusus. Jika untuk buku awas sanggup dengan kertas HVS, untuk buku braille kertas yang dipakai harus kualitas manis dengan ketebalan yang cukup. Hal ini semoga titik-titik timbul pada kertas tahan usang dan tidak eksklusif melesak ke dalam sesudah diraba untuk dibaca. Maka dari itu, kertas yang dipakai pun cukup mahal.


Dari sisi kepraktisan, buku braille agak menyulitkan untuk dibawa mobile dan disimpan di ruang terbatas. Sebab ukuran buku braille biasanya akan lebih besar dibanding buku awas. Perbandingannya yaitu 1 : 3. Artinya, satu halaman di buku awas, rata-rata ketika ditulis dalam format braille, menjadi tiga halaman kertas buku braille. Misal satu buku pelajaran Sekolah Menengan Atas yang ketebalan 5CM, ketika diubah ke buku braille sanggup menjadi tiga jilid buku braille dengan masing-masing 10 hingga 15 CM ketebalan. Tak ayal fakta ini menciptakan buku braille tak cukup fleksibel dibawa mobile dan membutuhkan ruang simpan ekstra.


Sebagai solusi, materi bacaan untuk tunanetra sekarang sanggup berupa format audio atau yang biasa disebut buku bicara, atau dalam buku elektronik (E-Book). Untuk buku bicara atau Audiobook, membutuhkan jasa seseorang yang membacakan goresan pena di buku awas untuk lalu direkam dalam bentuk voice atau suara. Voice ini lalu disimpan dalam bentuk kaset atau CD. Format ini lebih mudah lantaran seorang tunanetra hanya perlu CD/MP3 player atau laptop/komputer untuk mendengarkan format audiobook. Distribusi dan penyimpanannya pun lebih mudah lantaran tak membutuhkan ruang sebesar buku braille.


Buku elektronik menjadi solusi paling efisien untuk materi bacaan tunanetra di kurun digital menyerupai ketika ini. Sifatnya yang inklusif, memungkinkan buku elektronik tidak hanya sanggup dinikmati oleh para tunanetra, tapi juga pembaca umum yang ingin beralih dari buku cetak konvensional ke format e-book yang sanggup dibaca via mobile gadget. Bukan hanya praktis, buku elektronik juga akan lebih murah dari segi biaya produksi dan ramah lingkungan lantaran tak menghabiskan materi baku kertas.


Mengamati peluang tersebut, sudah seyogyanya para penulis dan penerbit mempertimbangkan untuk memproduksi versi e-book dari tiap buku yang diterbitkan. Adanya versi elektronik dari tiap materi bacaan, akan mengikis jurang kanal terhadap buku yang selama ini dialami oleh para tunanetra. Mungkin cara yang sanggup dilakukan ketika ini yaitu dengan scann tiap buku yang ingin dibaca untuk lalu dibaca memakai komputer. Tapi proses scan atau pemindaian itu bukan hal mudah, lantaran dibutuhkan waktu dan tentunya tak sanggup dihindari kesalahan hasil scan yang dilakukan secara sanggup bangkit diatas kaki sendiri oleh tunanetra. Akan sangat memudahkan apabila tiap buku sudah tersedia versi e-book-nya, dan para tunanetra sanggup eksklusif membacanya memakai komputer atau mobile gadget. Sama menyerupai hak masyarakat pada umumnya yang sesudah membeli sebuah buku, sanggup eksklusif membacanya tanpa proses perhiasan lainnya.


Solusi sudah ada, tinggal bagaimana kebijakan pemerintah dan kesepakatan dari pelaku dunia baca mendukung hal ini. Soal plagiarisme memang gosip utama yang perlu diatasi, tapi jangan hingga hal tersebut menjadi hambatan untuk para tunanetra sanggup mengakses materi bacaan setara dengan masyarakat pada umumnya. Bahwa membaca dan mengakses informasi yakni hak setiap orang, tanpa terkecuali, termasuk para tunanetra.


Selamat hari buku sedunia. Semoga ini jadi refleksi kita bersama untuk terus meningkatkan kapasitas diri dengan membaca. Dari membaca maka kita sanggup menulis, dan dengan menulis, maka sejarah itu dibuat.(DPM)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Tunanetra Dan Buku Elektronik"