Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Safrina, Api Dari Minomartani

 Aku melihatnya lagi di televisi alasannya yaitu ia mendapat penghargaan nasional Safrina, Api dari Minomartani


Aku meletakkan remote televisi sambil tersenyum. Aku melihatnya lagi di televisi alasannya yaitu ia mendapat penghargaan nasional. Beberapa bulan kemudian saya juga melihatnya, ada segmen khusus yang meliput dirinya sebagai guru inspiratif, ditulis koran nasional prestisius, dan mendapat apresiasi dari pelbagai institusi. Sempat juga kulirik akun facebook-nya, dan astaga…kudapati ia sudah menjejak kaki di tanah suci. Ia pun berhasil menjadi penyandang cerebal palsy pertama yang lulus di UNY dalam jangka waktu kurang dari empat tahun. Kali ini saya akan bercerita tentangnya: perihal sebuah mimpi yang pernah ia katakan kepadaku.


Namanya Safrina. Safrina yaitu seorang penyandang cerebral palsy yang menjadi seorang guru di sebuah SLB. Ia pun juga aktif di LSM yang mengusung informasi difabel di Yogyakarta semenjak awal kuliah beberapa tahun lalu. Aku ingin memperkenalkan Safrina kepada kalian supaya sanggup menginspirasi dan memacu difabel yang lain untuk bermetamorfosis lebih baik, lebih bermartabat dan dihargai dimata masyarakat. Banyak jalan yang telah ia lalui sebagai sarana aktualisasi diri. Harapannya sangat luhur: dengan memperkenalkan prestasinya, masyarakat sanggup lebih kritis dan peka dalam menilai potensi penyandang disabilitas yang kadangkala masih dipandang sebelah mata.


Beberapa ratus hari sebelum hari ini, saya menepati kesepakatan bertemu dengan Safrina. Aku sudah lelah membaca pesannya yang berisi motivasi menulis yang sering ia ambil dari buku-buku motivasi.


Aku dan Safrina memang berencana menerbitkan sebuah buku─mungkin hanya mencetaknya di percetakan─tapi kami tak peduli. Janji itu terucap ketika kami sedang duduk di gazebo yang berwarna hijau di ujung lapangan rumput fakultas kami. Saat itu, senja menemani kami dengan menawarkan pendaran yang mengagumkan. Sebetulnya, saya cuma duduk-duduk saja di gazebo─sedang tak ada yang dikerjakan alasannya yaitu memang sudah waktunya pulang. Awalnya kami cuma bicara ngalor-ngidul, kemudian mulai mengerucut pada satu hal.


Merajut mimpi─kuharap bukan mimpi yang salah.


“Mungkin kita bisa bertemu di hutan mlanding berdua.”


“Berdiskusi,” ujarku lagi.


Aku meneruskan dialog lagi dengan Safrina. Aku heran ketika melihat raut muka Safrina berubah. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan sesudah saya menyampaikan kalimat itu. Kuharap saya tak menyakiti hatinya. Matanya berputar kesana kemari ibarat komidi putar pasar malam. Aku ingin tau apa yang ia pikirkan. Kulihat matanya mulai menghitung daun-daun beringin yang bersebaran di atas sajadah rumput. Dia bagai langit yang sulit sekali kutebak tingginya.


“Aku dulu dikira anak idiot,” ucapnya sambil memandangku.


“Maksudmu?”


“Aku bersekolah di SLB khusus tunagrahita hingga kelas tiga alasannya yaitu salah diagnosa. Sampai risikonya ada guru yang peduli denganku. Dan saya sangat senang alasannya yaitu saya hanya cerebral palsy.”


Saat mendengar itu, hatiku bergenderang keras.


“Saat semua orang di sekolah tahu saya cerebral palsy, semua berubah. Pelajaranku tidak hanya dua apel ditambah dua apel, tapi aljabar-aljabar sederhana,” ia terhenti sejenak dan kemudian berkata lagi, “dan juga perkalian.”


“Kamu terus bersekolah di SLB?” tanyaku.


Ia menggeleng, “Aku melanjutkan di sekolah inklusi. Sampai kini bisa masuk di Perguruan Tinggi Negeri pun alasannya yaitu sebuah usaha panjang.”


Aku dan Safrina berbincang lama hingga risikonya senja memisahkan kami. Saat ia beranjak pergi, ada catatan kecil yang tersimpan di kepalaku yang akan kutanyakan besok.


Lagi.


Aku dan Safrina bertemu di hutan mlanding, bukan tanpa alasan─merencanakan misi belakang layar yang kami anggap sebagai bubuk amunisi, yang semoga bisa meledak. Kami menciptakan novel─lebih tepatnya kumpulan buku harian! Bercerita perihal insan tertindas dan berdarah-darah melawan kemunafikan dunia. Tokoh utamanya cukup misterius, menyukai menulis padahal ia sendiri tidak bisa menulis. Otaknya mengalami kerusakan─banyak jago yang menyebutnya cerebral palsy.


“Kamu ikut UN ketika SMA?” tanyaku memulai pertemuan. Kulihat ia mengangguk pelan dengan mata yang berbinar.


“Lulus?” ucapku lagi. Entah mengapa binar matanya meredup.


“Tanganku kaku dan athetosis. Aku berkali-kali berusaha menghitamkan tanpa harus keluar garis. Tanganku gemetaran. LJK-ku tak karuan bentuknya─lecek dan kotor, ibarat bungkusan tempe.”


Dengan seksama saya mendengarkan ceritanya. Aku gres tahu jikalau ia tak lulus dari Sekolah Menengan Atas alasannya yaitu LJK tak terbaca dengan baik, padahal 90% tanggapan ia tahu jawabannya. Waktu itu tak ada pendamping dan sedikit orang yang peduli dengan keberadaan Safrina. Melihat ibarat ini, ada banyak pihak yang membantu dan risikonya ia bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri satu angkatan denganku.


“Aku yakin akan lulus, meskipun tidak sepenuhnya. LJK yaitu penghalang nyata bagiku. Seteliti apapun saya menghitamkan LJK, tetap saja akan mbleber-mbleber. Bulatan itu terlalu kecil─bahkan jikalau dibesarkan hingga sepuluh kali tetap saja tidak akan pernah rapi. Lagipula tidak akan ada pendamping─aku tidak akan minta tunjangan selain kepada Allah dan diriku sendiri─tapi tentu saya tak keberatan jikalau ada yang ngasih saya jawaban,” ucapnya sambil terkekeh.


Aku sering berpikir, betapa beruntungnya Safrina. Dia mempunyai keluarga yang sangat peduli terhadap dirinya. Aku tak bisa membayangkan jikalau Safrina terlahir di pulau terpencil, tentu ia tidak akan jadi ibarat ini─hanya dilecehkan, dianggap tidak mempunyai kegunaan dan bahkan dipasung ibarat yang saya lihat di televisi kemarin. Ada anak cerebral palsy yang dipasung duabelas tahun alasannya yaitu dianggap kerasukan siluman.


Memang, pepatah don’t judge the book by the cover kadangkala benar. Tapi orang sering menghakimi tanpa adanya bukti─cuma mengira-ngira dan menciptakan hipotesis sebagai kesimpulan akhir. Ini terang tidak adil. Aku pun sering berguru makna kehidupan darinya. Saat orang mulai terjebak hedonisme dan menjadi hipokrit, adanya Safrina sanggup memberiku satu alasan untuk terus bertahan: bahwa kejujuran bahwasanya mudah, meskipun sulit pada awalnya.


Tulisan tangannya memang gedhe-gedhe dan awut-awutan─tangannya berkata bahwa jangan salahkan ia alasannya yaitu aku mengalami ketegangan. Ketika bicara ia ibarat menelan suku kata dan tidak jelas─lidahnya berkata jangan salahkan ia alasannya yaitu aku sulit dikendalikan. Ketika berjalan ia ibarat orang mabuk dan sempoyongan─kakinya bicara bahwa jangan salahkan ia alasannya yaitu aku tak terkontrol dengan sempurna. Hal tersebut mengisyaratkan satu hal, ada beberapa bab otaknya yang rusak, jangan hina Safrina alasannya yaitu ia juga punya perasaan. Itu, ucapan yang sering ia katakan tanpa bersuara.


Ia juga pernah berujar, “Semua insan sama, haknya─berbeda dalam beberapa hal dan itu biasa. Safrina tak bisa memaksa orang untuk mengerti kebutuhan Safrina, justru Safrina-lah yang harus hijrah─mencari kualitas diri, sejajar dan terbang melesat meninggalkan orang-orang itu..”


Impian Safrina─dan juga saya tentunya─hanya satu: inklusi dalam segala hal, tentu saja ritual keagamaan tidak termasuk dalam kategori ini. Awalnya memang sulit─aku juga ingin bermain bola tanpa harus ditertawakan, dan Safrina juga ingin makan di kantin dengan nyaman tanpa harus menciptakan risih orang.  Kadang saya juga takut kacamataku terlepas ketika berdesakan di dalam angkot dan ia pun sering mencicipi kepayahan ketika akan turun dari angkot.


Aku melongo sejenak. Mataku menyapu rumput berair di bawah pepohonan. Dalam hati, saya merasa terlalu berdosa kepada diriku sendiri. Aku terlalu banyak maunya dan kurang bersyukur.


“Safrina, Insha Allah beberapa hari lagi kau bakal dapet naskah yang bagus,” ujarku dengan mata terbuka lebar. Aku bertekad akan menyelesaikannya dalam dua hari.


Ia pun mengangkat bibirnya


Hari itu ternyata yaitu hari terakhir kami membahas novel. Aku dan Safrina mulai karam dalam skripsi dan acara melenakan. Aku juga tak pernah menuntaskan naskah novel yang sudah 75% itu. Kami pun hilang dalam rutinitas masing-masing dan tak kusangka saya bertemu lagi dengannya di layar televisi dengan segudang prestasinya.


Saat selesai menonton wawancaranya di televisi, saya lantas membuka file naskah novel yang tersimpan lima tahun lalu. Ia telah berhasil mewujudkan sebagian mimpinya yang bahkan belum tertulis. Novel harapan kami tak pernah selesai, namun segala yang tertulis dalam naskah-naskah itu satu-persatu telah bisa ia raih dan diwujudkan.


. Salam semangat untukmu! Semoga inklusi semakin membumi!



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Safrina, Api Dari Minomartani"