Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mbah Cato, Sang Guru Kehidupan……

 alasannya ialah gres satu nama ini yang saya jumpai selama berkelana di dunia Mbah Cato, Sang Guru Kehidupan……
Senyum Ceria Lebaran. Mbah Cato(kiri); Candra,cucu ke – enam (tengah kiri); Saya (tengah kanan); Mbah wesah (kanan)

Namanya CATO, ya orang mengejanya C_A_T_O atau dengan ejaan usang TJ_A_T_O. Namanya cukup unik menurutku, alasannya ialah gres satu nama ini yang saya jumpai selama berkelana di dunia. Dari nama ini yang alhasil bisa mengantarkan anak – anaknya ke gerbang pendidikan yang lebih tinggi dan meraih kesuksesan. Mbah Cato mempunyai 6 orang anak, jumlahnya seimbang yaitu 3 anak laki – laki dan 3 anak perempuan. Anak petamanya laki – laki, kedua perempuan, ketiga perempuan, ke empat dan kelima laki –laki dan yang palng terakhir atau disebut bungsu perempuan.


Masa Anak – anak


Masa anak – anak mbah cato sangat memprihatinkan alasannya ialah ia bukan anak yang beruntung, yang lahir dari seorang priayi, tetapi dilahirkan dari seseorang yang bila diurutkan dari kasta menempati urutan paling bawah. Beliau juga tidak sempat mengenyam pendidikan yang layak, minimumnya pendidikan SD sehingga tidak bisa baca tulis apalagi mengaji. Masa kecilnya ia habiskan untuk ngangon wedus(1) di sawah. Selagi bawah umur yang lain bisa bermain dengan bebas, ia justru lebih menentukan untuk kerja keras mengumpulkan pundi – pundi uang alasannya ialah kondisi ekonomi yang memaksanya. Apalagi melihat sikap ayahnya yang suka mabok – mabokan, ini sangat tidak memungkinkan ia untuk bersenang – bahagia alasannya ialah ia anak pertama dan bertekad ingin membantu menafkahi keluarga. Awal kerja kerasnya ini yang nantinya akan membuahkan hasil yang bagus di masa depan.


Masa Remaja


“Sejatinya Hidup ialah Move On atau Hijrah” . (Noname). Hijrah ialah berpindah dari suatu titik ke titik yang lain. Jika didefinisikan secara luas, hijrah bukan hanya sekedar berkaitan dengan jarak atau tempat, tetapi juga mengenai kondisi atau keadaan dari hal jelek ke yang baik, dari hal baik ke yang lebih baik. Semakin dewasa, mbah cato sadar bahwa dia harus mempunyai kehidupan yang lebih layak. Beliau melihat dari orang – orang dikampungnya, kebanyakan mereka sukses dengan merantau ke kota – kota besar menyerupai Jakarta dan Bandung. Beliau pun alhasil memutuskan untuk merantau. Beliau ikut merantau dengan tetangganya yang punya perjuangan di bandung dan cukup tajir di kampungnya pada masa itu sebagai kacung/pembantu . Kini kehidupanya mulai mengalami perubahan, yang awalnya hanya seorang tukang angon(2) kini maju satu langkah menjadi seorang pembantu di salah satu tetangganya. Kedua pekerjaan ini sebetulnya sama – sama masih dipandang rendah di mata manusia, namun dengan merantau mbah cato mendapat pundi uang yang lebih banyak. Meskipun, di mata Allah S.W.T sendiri tidak ada pekerjaan yang hina selama diperolehnya dengan cara yang halal dan baik.Yaah begitulah manusia, memandang sesuatu hanya yang terlihat saja menyerupai harta dan tahta.


Beberapa tahun merantau, pundi uang yang diperoleh ia semakin banyak. Tidak menyerupai cowok yang lainnya, begitu mendapat uang yang berlimpah eksklusif dihabiskan untuk berfoya – foya, mabok – mabokan, bahkan main gendhakan(3) ketika pulang ke kampungnya. Mbah cato remaja justru sangat gemi(4) dalam mengatur uang. Mungkin pengalaman hidup masa kecilnya yang mengakibatkan ia menyerupai ini, ia sadar bahwa uang yang didapatkanya tidaklah gampang sehingga ia harus apik dalam mengaturnya. Beliau tidak eksklusif menghabiskannya menyerupai cowok pada umumnya, tetapi ia justru mengalokasikan untuk membeli sawah dan binatang ternak, serta menabung untuk modal perjuangan sendiri suatu ketika nanti.


 


Masa dewasa


Tahun demi tahun, usia mbah cato remaja semakin bertambah. Seperti cowok pada umumnya, ia pun berkeinginan untuk menikah. Nikahnya orang dulu tuh sederhana, dikenalkan sekali duakali eksklusif menikah. Tidak menyerupai zaman sekarang, banyak bawah umur remaja yang melewati fase pacaran dengan berkelakuan layaknya suami – istri, padahal masih belum halal berdasarkan agama dan negara. Miris memang, melihat moral anak – anak bangsa kita yang mengalami kemunduran.


Mbah cato pun meminta tetangganya untuk dicarikan jodoh, ditunjukanlah seorang janda kembang, yang berjulukan wesah. Gadis ini gres menikah beberapa bulan alasannya ialah dijodohkan orang tuanya, tetapi mengalami kekerasan rumah tangga, suaminya mempunyai watak yang buruk, mabok – mabokan, dll sehingga memutuskan untuk bercerai. Akhirnya, mbah cato menikah dengan mbah wesah. Mereka berdua menghasilkan keturunan berjumlah enam orang.


“Selama ada kemauan niscaya ada jalan”. – Pepatah


Selama diperantauan, ia dengan ulet bekerja keras di perjuangan bakso milik tetangganya. Dari sini ia berguru membuat bakso. Di lubuk hati kecilnya, ia ingin suatu hari nanti bisa berjualan bakso sendiri. Kerja keras, rasa ingin tahu, dan kemauan berguru sesuatu yang gres ini yang akan membawanya pada kesuksesan. Dirasa cukup uang hasil tabunganya untuk perjuangan sendiri, ia pun memutuskan untuk berhenti menjadi seorang kacung dan memulai jualan bakso. Beliau memulai jualan bakso keliling, dengan dipinggul. Bakso yang dijualnya merupakan racikan sendiri, ia bisa membuat resep bakso yang yummy sehingga banyak pelanggan yang menyukai baksonya di daerah yang ia lewati untuk berjualan bakso, menyerupai jl, kalipa apoh, jl, tegal lega, jl. pasir koja, dll. Pelanggannya sediri kebanyakan orang china yang tinggal dikawasan itu. Kehidupan ia membuktikan perubahan, pelan tapi niscaya kehidupannya mengalami kenaikan kasta. Dengan perjuangan sendiri, ternyata pundi uang yang terkumpul lebih banyak lagi daripada hanya menjadi seorang kacung. Kini sawah dan pekarangan semakin banyak yang ia miliki, selain itu ia membeli sapi untuk diternakan. Hal ini ia lakukan, alasannya ialah tahu persis resiko berdagang sendiri, tidak menyerupai ketika menjadi seorang kacung ia rutin mendapat uang bulanan tanpa tahu untung rugi bosnya. Resikomya sama halnya perjudian, kalo untung bisa meraup banyak uang tapi kalo rugi bisa kolaps. Oleh alasannya ialah itu, sebagian uang yang ia hasilkan dinvestasikan untuk membeli sawah, pekarangan, dan binatang ternak.


Sudah beberapa tahun berlalu ia berjualan bakso keliling sehingga mempunyai pelanggan bakso tetap. Beliau pun ingin mempunyai tempat permanen di bandung, untuk berjualan bakso dan tempat tinggal. Tuhan memudahkan jalanya, pemilik kontrakan yang ia tinggali membutuhkan uang dan alhasil menjualnya ke mbah cato. Beliaupun memutuskan untuk tidak berjualan keliling lagi, tetapi berjualan di tempatnya sendiri, di jl. Pagarsih, gang maskadi. Meskipun warung baksonya masuk gang dan penampilanya juga sangat sederhana dengan dinding warung menggunakan geribik(5) dan kursi kayu panjang sebagai tempat duduk, warung bakso mbah cato cukup ramai pada masa itu alasannya ialah sudah mempunyai pelanggan setia dari banyak sekali daerah yang dulu tempatnya berjualan keliling sengaja tiba untuk menikmati seporsi bakso mbah cato ini. Lebih ramai lagi, ketika anda tiba pada hari ahad alasannya ialah biasanya orang –orang china yang sesudah beribadah di gereja jalan pagarsih niscaya jajan bakso disini.


Tahun berganti tahun, anak – anak merekapun bertumbuh dewasa. Mbah wesah yang tadinya memulai perjuangan juga di kampung dengan membuka warung sayur – sayuran mentah, memutuskan untuk ikut merantau ke bandung dengan membuka warung nasi atau umumnya disebut “warteg”. Anak pertama dan ketiga ikut merantau juga ke bandung. Sedangkan anak ke dua, ke empat, ke lima, dan ke enam tinggal dikampung. Anaknya yang kedua mengurusi ketiga adiknya dikampung, anak nya yag kedua hanya mengenyam pendidikan hingga smp kemudian menikah. Dari anak yang pertamanya lah yang mengawali perubahan pendidikan bagi adik – adiknya , kecuali adik wanita yang pertama dan kedua. Karena pendidikan bagi wanita pada masa itu tidaklah terlalu penting. Anak pertama, sebut saja marno, dan yang ketiga, destri. Mereka melanjutkan sekolah menengah atas di bandung. Marno, selepas Sekolah Menengan Atas menginginkan untuk meneruskan ke erguruan tinggi. Ia mengutarakan keinginannya itu kepada mbah cato untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Katanya, tidak selamanya berjualan bakso itu mendapat untung yang menggiurkan menyerupai ayahnya. Ia menginginkan kehidupan yang lebih baik, kalo ia sama berjualan bakso belum tentu nasibnya semujur ayahnya sehingga ia menginginkan mempelajari disiplin ilmu yang lain yaitu dengan melanjutkan kuliah. Ia pun berjanji, ketika lulus menjadi sarjana kelak ia akan ikut membantu adik – adiknya untuk kuliah juga. Kata – katanya meyakinkan ayahnya sehingga mbah cato pun luluh untuk memenuhi harapan anaknya. Marno alhasil kuliah dengan jurusan teknik mesin di salah satu universitas swasta di bandung, ITENAS. Berbeda dengan destri, ia hanya menamatkan pendidikan hingga Sekolah Menengan Atas alasannya ialah baginya wanita tidak perlu membutuhkan pendidikan yang tinggi , toh alhasil mereka bakal dirumah mengurusi rumah tangga. Sedangkan ketiga adiknya menamatkan sekolah menengah di kampung, untuk kemudian hari meneruskan kuliah juga di bandung. Dari jejak kakaknya ini, anak – anaknya yang lain pun ingin dikuliahkan juga oleh mbah cato terutama yang laki – laki. Namun, seiring berubahan zaman, anaknya yang ke empat, herman sadar bahwa wanita pun berhak dan wajib mengenyam pendidikan ke yang lebih tinggi. Ia pun meyakinkan mbah cato bahwa adik perempuannya yang paling bungsu harus dikuliahkan juga. Ketiga anak terakhir mbah cato ini, herman, sanusi, selfi kuliah di salah satu universitas negeri di bandung, POLBAN. Mereka mengambil bidang keteknikan juga, herman (teknik kimia), sanusi (teknik mesin), selfi (teknik kimia). Beliau berhasil menguliahkan mereka hingga sarjana dari perjuangan jualan baksonya.


Masa Tua


Hampir 60 tahun ia merantau di bandung, kini usia mbah cato 75 tahun. Meskipun sudah tua, ia masih berjualan bakso. Kini warung baksonya tidak lagi menggunakan geribik, dinding – dindingnya sudah menggunakan materi yang permanen. Namun, makin hari perjuangan jual baksonya mendapat laba yang sedikit, tidak menyerupai laba yang ia peroleh ketika warungnya masih berbentuk sederhana. Sudah jarang pelanggan yang berdatangan, mungkin alasannya ialah mereka pun sudah pada hijrah ke tempat lain. Paling kalo long weekend, ada pelanggan setianya dulu yang liburan ke bandung sengaja tiba ke warung bakso mbah cato memesan beberapa bungkus bakso untuk melampiaskan rasa kangenya bakso mbah cato. Ke empat anak yang ia kuliahkan kini sudah menjadi “orang”. Marno, menentukan menjadi guru STM di kampung kerena ia ingin tinggal bersama istrinya di kampung, Herman kerja disalah satu perusahan swasta di Surabaya, sanusi kerja di salah satu BUMN di Tanggerang, dan si bungsu, selfi juga kerja di salah satu BUMN di Yogyakarta. Kini mbah cato berkeinginan untuk pensiun dari berjualan bakso alasannya ialah kesemua anaknya sudah menikah kecuali si bungsu, dan laba jualan bakso juga tidak menyerupai dulu. Beliau sadar, mungkin dulu emang rejekinya anak – anak buat kuliah dan alasannya ialah usianya yang semakin menua juga mungkin Allah pun mengurangi rejekinya. Beliau ingin mudik untuk menikmati masa tuanya dengan focus beribadah kepada Allah. Saat ini, ia masih berjualan bakso sambil menunggu ada orang yang membeli rumahnya di bandung. Katanya, kalo rumahnya sudah terjual ia bersama istrinya, mbah wesah berniat untuk beribadah haji ke Mekkah.


Pelajaran yang saya ambil dari kehidupan ia ialah kerja keras, kemauan untuk berguru sesuatu yang gres dan berani mengambil resiko dengan berhijrah sanggup memperlihatkan perubahan kehidupan yang lebih baik.


“SEJATINYA HIDUP ADALAH MOVE ON ATAU BERHIJRAH”


====================== ======SEKIAN DAN TERIMAKASIH===========================


Keterangan:


(1) Mencari rumput di sawah buat ngasih makan binatang ternak (kambing) orang yang punya binatang ternaknya


(2) Orang yang mencari rumput buat ngasih makan kambing majikannya dengan upah tertentu


(3) Pelacuran


(4) Irit


(5) Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Mbah Cato, Sang Guru Kehidupan……"