Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ibuku, Pelita Desaku

 yang mengantarkan ibuku menghadap sang Khalik IBUKU, PELITA DESAKU
Foto terakhir, sebelum menjalani operasi ginjal, yang mengantarkan ibuku menghadap sang Khalik

Perempuan mulia di foto itu yakni Ibuku. Beliau memang sudah tiada, tetapi nyala semangatnya tidak turut terkubur bersama jasadnya. In Sya Allah akan selalu berpendar di hati kami semua yang ditinggalkannya. Sengaja kuangkat sosoknya dalam event kali ini, dengan satu harapan, perannya menjadi pandangan gres bagi semua orang.


0 tahun


Ibuku lahir sekitar tahun 1956 – 1957, tidak ada yang mengingat dengan niscaya tahun lahirnya, apalagi tanggalnya. Nenekku hanya wanita desa yang awam dengan urusan catat-mencatat, dan kakekku sudah meninggal 6 bulan sebelum ibuku lahir. Yaahh.. ibuku memang sudah yatim semenjak masih di dalam kandungan. Itu pula yang diyakini oleh nenek dan ibuku sebagai penyebab badan rapuh yang dimilikinya.


Desa kelahiran ibuku dan juga aku, yakni sebuah desa yang terletak di Kabupaten Sumenep, Madura. Desa kecil yang terletak di pinggir jalan protokol, sekitar 50 meter dari gerbang masuk wilayah kota (sekarang). Penduduknya rata-rata menggantungkan hidup dari hasil bertani (pada waktu ibuku lahir).


12 tahun


Masa kecil ibuku sangat singkat, sesingkat usia sekolahnya yang hanya hingga di kelas 5 SR (Sekolah Rakyat_setingkat SD). Hanya 12 tahun saja ia menikmati waktu bermainnya, sebab di usia itu, ia telah menyandang predikat sebagai seorang istri. Istri dari pria yang sama sekali tidak dikenalnya, yaitu ayahku. Bukan hanya sebab keyatimannya yang menciptakan ibuku menikah di usia kanak-kanak, namun memang demikianlah watak dan budaya suku Madura pada umumnya. Mitos yang berkembang ketika itu, bahkan hingga ketika ini di beberapa daerah, yakni pantang menolak pinangan seorang pria sebab akan mengakibatkan wanita yang menolak pinangan tersebut menjadi perawan bau tanah sebab sulit jodoh.


Menjadi seorang istri yang bahkan ibuku tidak tahu arti dari predikat yang disandangnya, menghadirkan banyak kisah lucu. Tahun-tahun pertama pernikahannya, ayahlah yang memasak dan bersih-bersih di rumah. Ibuku kadang masih sibuk bermain dengan teman-teman sebayanya yang kebanyakan juga sudah menikah. Untunglah, ayahku begitu sabar. Lambat laun, ibuku menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang istri.


20 tahun


Di usianya yang ke-20 tahun, ibuku terbilang sangat aktif mengikuti banyak sekali acara di desaku. Ia menjadi motor dan pelopor  perempuan-perempuan di desaku untuk berguru banyak sekali keterampilan. Mulai dari berguru memasak, tata rias, dan simulasi P4, semua diikutinya dengan penuh semangat. Semangatnya mengalahkan banyak sekali penyakit yang kerap hinggap tanpa permisi di tubuhnya. Hernia Umbilikalis dan Typhoid Fever, yakni 2 di antara seabrek penyakit yang menciptakan ibuku hingga kehilangan kesadaran berhari-hari. Saat itu, tidak ada perawatan medis apapun untuk menyembuhkannya. Berbekal obat-obatan herbal, do’a dari kyai, semangat hidupnya yang membara, dan tentu karunia dari Sang Ilahi; menciptakan ibuku lolos dari maut.


24 tahun


Ini yakni usia di mana ibuku melahirkanku. Berbagai upaya dilakukan biar segera hamil. Sempat frustasi dan menyangka mandul, mengingat teman-teman sebayanya sudah mempunyai 1 atau 2 orang anak. Kelahiranku yakni penantian ibu dan ayahku selama 11 tahun_penjawab dari do’a-do’a yang tak kenal lelah dipanjatkan. Apakah lantas saya menjadi anak yang dimanjakan? Tidak! Aku justru dididik berdikari dan hidup prihatin.


Memiliki anak, tidak menciptakan semangat berguru ibuku kendur. Puncaknya yakni ketika dia diminta mewakili desa mengikuti lomba memasak di tingkat kecamatan. Ibuku dengan timnya, menciptakan camilan manis tart berbahan dasar singkong. Alhamdulillah, ibuku menyabet gelar juara 1. Karyanya dianggap mewakili perpaduan antara kelas bawah dan atas, kelas rakyat dan pejabat.


Keterampilan yang dimilikinya, tidaklah menciptakan ibuku tinggi hati. Beliau ulet mengajari perempuan-perempuan di desaku untuk menciptakan beraneka kue. Setiap bulan puasa, rumahku selalu ramai dengan orang-orang yang berguru dan menciptakan camilan manis bersama. Ibuku juga dengan suka cita meminjamkan banyak sekali alat memasak yang dimilikinya. Walhasil, ketika ini, tidak ada wanita di desaku yang tidak bisa menciptakan kue. Jika dulu mereka hanya bisa menelan ludah melihat beraneka camilan manis di televisi atau di rak toko camilan manis di kota, kini mereka bisa membuatnya sendiri semudah membalikkan telapak tangan.


35 tahun


Usiaku 11 tahun, sama dengan usia ibuku ketika dipinang ayahku. Lazimnya watak di desaku, tentu sudah ada yang mulai mengajukan lamaran. Mitos dan adat, menciptakan keluarga besarku tergerak untuk menyetujui pinangan yang menghampiriku. Namun, ibuku dengan tegas menolak. Beliau rela bersilang pendapat bahkan berujung pertengkaran dengan keluarga besarku daripada melihat hilangnya pendar semangat yang menyala di mataku. Semangat belajarnya yang luar biasa dan tekad kuatnya untuk maju, memang telah menitis dalam darahku. Tak terhitung banyak sekali perlombaan telah kumenangkan semenjak SD. Itu pula yang menciptakan ibuku yakin, bahwa saya akan menjadi lebih sukses kalau meneruskan sekolah dan bukannya menikah muda sebagaimana yang terjadi pada semua teman-temanku.


40 tahun


Fisik ibuku mulai tergerus. Berbagai penyakit terus menghampiri silih berganti. Seingatku, selain 2 penyakit yang pernah dideritanya ketika masih kecil, ibuku juga pernah menderita maag kronis, gangguan jantung, nanah perut, nanah akses kencing, myoma, tonsilitis, penyakit metabolisme (asam urat, kolesterol), dan kerikil ginjal. Tak terhitung banyak sekali upaya yang telah dilakukan untuk mendapat kesembuhan. Dari harga obat kimia yang puluhan ribu sampai  dengan jutaan rupiah; ramuan herbal hingga empedu ular kobra; rasa obat yang manis hingga pahit-getir; dijalaninya tanpa putus asa. Sungguh, kalau bisa ingin rasanya sakitnya ku ambil.


Sekali lagi, ibuku membuktikan, penyakit tak menyurutkan asanya. Di ketika ekonomi keluargaku mengalami kemunduran, ibuku tak tinggal diam, dia bersiaga membantu ayahku walau penyakit-penyakit siap mengintainya bahkan mengantarkan maut padanya. Ibuku memutuskan untuk berguru menciptakan bakso dan membuka warung bakso di rumah. Tentu, banyak cibiran dari keluarga maupun tetangga, mengingat keluargaku termasuk cukup berada. Penghasilan ayahku dari membuka toko kelontong dan bertani, lebih dari cukup untuk membiayai hidup kami semua. Beban biaya kuliah dan hidupku di rantau, serta biaya sekolah 3 orang adikku yang semakin besar; menciptakan penghasilan yang biasanya cukup menjadi tak cukup lagi.


44 tahun


Inilah puncak kebahagiaan ibuku. Aku lulus kuliah, menaiki panggung wisuda dengan gelar lulusan terbaik Fakultas Psikologi. Kulihat lelehan air matanya sambil menatap besar hati diriku. Gelar sarjanaku seakan menjadi bukti bahwa keputusannya untuk tidak menikahkahku di usia muda tidaklah salah; bahwa kenekatannya menjual ladang untuk membiayai kuliahku bukanlah masalah. Aku membayarnya dengan prestasi terbaik sepanjang usia sekolahku.


50 tahun


Seakan tidak cukup dengan berderet penyakit yang dideritanya, operasi 2 kali yang dijalaninya (tonsilitis dan myoma), ibuku mengalami kecelakaan hingga gegar otak. 2 hari dia koma, namun syukur kepada Allah, dia masih diberi kesempatan untuk menemaniku melahirkan anak pertamaku.


53 tahun


Inilah simpulan kisah perjalanan ibuku di dunia. Penyakit ginjal yang dideritanya, sudah tak bisa ditahan lagi sakitnya. Jalan operasi yang ditempuhnya, menjadi pengantar untuk kembali kepada Sang Pemilik Hidup. Satu kenangan yang tak akan kulupa seumur hidupku, dalam keadaan setengah sadar, dia memelukku sangat bersahabat sebelum simpulan hidup menjemputnya, seakan mengisyaratkan inilah pelukan terakhir sekaligus perpisahan bagi kami.


Selamat jalan, ibuku. Bagiku, engkau lebih menginspirasi dari Kartini bahkan lebih trengginas dari Cut Nyak Dien. Pelitamu memang telah padam, tetapi cahayanya kekal di hatiku dan hati orang-orang desa. Banyak hal yang telah engkau beri, dan tak sempat kubalas di dunia. Semoga, lantunan do’aku menjadi salah satu penuntun jalanmu menuju surgaNya.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ibuku, Pelita Desaku"