Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gadis Pengharapan

 Shinta dan Meta sedang bermain di pantai Kuta GADIS PENGHARAPAN
Shinta dan Meta sedang bermain di pantai Kuta, Bali


“Apakah kau yakin ingin melaksanakan ini?

Tangannya bergetar. Mulutnya sudah terbuka, namun tidak ada satu katapun yang terucap. Setelah beberapa puluh detik, ia mengangguk pelan dan berkata, “Ya. Mari kita mulai.”


Aku mengambil kamera, meletakkannya pada posisi yang tepat, menyetelnya. Setelah siap, saya memberi tanda bahwa perekaman akan segera di mulai. “Camera rolling… 3, 2, 1, action.”


Sore itulah, pukul 18.00 WIB, Meta Septalisa menceritakan secara lengkap apa yang terjadi pada dirinya…


***


Aku duduk sendiri di ruang kerja, menghadap perangkat komputer lengkap dengan segala macam peralatan editing. Burung walet yang sibuk membangun sarang di gedung sebelah kantorku tidak henti-hentinya berkicau. Tidak apa-apa, saya tidak jengkel. Justru usang kelamaan bunyi mereka terdengar menjadi irama tertentu di telingaku.


Masih terperinci dalam ingatanku, ketika suatu siang saya duduk di depan televisi menonton sebuah siaran gosip yang melaporkan kejadian pelecehan seksual terhadap seorang gadis remaja.  Dalam pemberitaan itu dikatakan bahwa korban menderita stress berat berat dan depresi. Saat itu saya sendiri sedang duduk di dingklik Sekolah Menengah Pertama dan mulai merenung, bagaimana jika hal itu hingga terjadi kepadaku? Aku selalu berpikir bahwa pelecehan seksual, atau pemerkosaan, ialah hal terburuk yang sanggup terjadi dalam hidup seorang perempuan. Aku sendiri tidak yakin bila mengalami hal itu, saya akan bisa mengatasi hal tersebut dan tidak menentukan untuk bunuh diri.


Ketika pertama kali berjumpa dengan Meta di dingklik kuliah, ia sangat ceria. Semua orang yang mengobrol dengannya niscaya dibentuk tertawa. Dengan kulit coklat, mata bundar dan senyum yang lebar, Meta selalu tampil lincah, enerjik, penuh semangat dan selalu saja mengeluarkan dagelan segar yang mengocok perut. Siapa sangka bahwa hal yang mengerikan itu pernah terjadi kepadanya?


“…….saat itu.. usiaku gres enam tahun, masih belum mengerti apa-apa. Dan pelakunya itu ialah tetanggaku sendiri… Dia…,” bunyi Meta tercekat di tenggorokan. “Dia…,seorang perempuan…”


Air mata terus mengalir di pipinya ketika ia menceritakan detail kejadian tersebut. Ya, Meta mengalami kekerasan seksual di usia yang masih sangat muda. Entah mengalami penyimpangan atau apa, gadis dewasa yang ketika itu masih duduk di dingklik Sekolah Menengan Atas tersebut melecehkan Meta selama bertahun-tahun. Ia melaksanakan kekerasan baik secara psikis dan fisik juga seksual dengan cara-cara yang aneh, sampai-sampai Meta hampir tidak bisa menceritakannya. Ketika kemudian orang tuanya memutuskan untuk meninggalkan desa dan pindah ke kota Palangka Raya, barulah ia terbebas dari perlakuan itu. Meta berpikir bahwa semuanya sudah berakhir, namun ternyata belum. Saat itulah ia mulai menyadari betul apa yang sudah terjadi dan perasaan tidak berharga justru semakin menjadi-jadi dalam dirinya. Ia bermetamorfosis seseorang dengan kepribadian ganda. Di hadapan semua orang ia sangat mencolok, supel, heboh, berusaha menarik perhatian orang dengan cara apapun dan tentunya sangat percaya diri bahkan hingga berlebihan. Namun di rumah, ia selalu depresi dan menangis. Sering mengalami insomnia dan mimpi buruk. Kadangkala ia bisa duduk termangu sendiri, memandang tali ayunan keponakannya, menimbang-nimbang apakah ia akan memutuskan untuk bunuh diri atau tidak. Ia selalu terintimidasi dengan ketakutan bilamana ia menjadi penyuka sesama jenis.


Ketika duduk di semester awal perkuliahan, kami menjadi sangat akrab. Tiga tahun kemudian ialah momen dimana pertama kalinya saya mengetahui apa yang pernah terjadi pada Meta. Kami berbicara, dan berdoa bersama. Untuk pertama kalinya, Meta menceritakan masa lalunya yang kelam kepada orang lain. Untuk pertama kalinya juga, luka yang ia biarkan membusuk di dalam hati itu dikorek dan membuatnya menjerit habis-habisan. Kendati demikian, untuk pertama kalinya juga, beban berat yang selama ini menekannya dengan jago bersama dengan belenggu perasaan ketidaklayakan seolah terangkat dari jiwanya. Semenjak ketika itu, Meta mulai berubah. Ia menjadi lebih ceria, lebih tenang, lebih lembut. Kami pergi beribadah bersama, berkumpul bahu-membahu rekan lain dalam sebuah komunitas rohani, bernyanyi, berbelanja, dan saling menguatkan satu sama lain. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk menuangkan kisah ini ke dalam bentuk sebuah film personal dokumenter. Saat duduk siang hari di teras rumah yang sejuk, kami membicarakan hal ini.


“Kalau kau belum siap, tidak apa-apa. Kita tidak harus membuatnya sekarang,” ucapku pelan.


“Tidak, jangan tunda lagi. Aku ingin kisah ini diangkat biar mata masyarakat terbuka. Selama ini perihal pelecehan dan pelecehan seksual dianggap terlalu tabu untuk dibicarakan, tetapi justru sebab itu banyak korban yang hanya membisu dan menanggung semua penderitaan sendiri. Aku tidak ingin terus menerus ada meta-meta yang lain!” tegasnya.


Itu memang betul. Selama ini kami terus melaksanakan penelitian, pemeriksaan dan mengumpulkan informasi.  Melalui aktivitasku sebagai konselor Kristen, saya menemukan bahwa hampir semua mahasiswi di komunitasku pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecilnya, dimana insiden itu rata-rata terjadi di kampung. Pertama kali mengetahui betapa banyaknya orang-orang yang mengalami pelecehan dan pemerkosaan, saya kaget. Kebanyakan di antara mereka hanya membisu dan menyembunyikan insiden itu dari orang tuanya. Ada pula beberapa yang memberitahu orang tuanya, namun sebab dianggap malu dan mencemarkan nama keluarga maka insiden itu tidak dilaporkan kepada yang berwajib. Si pelaku tetap melenggang kangkung dengan leluasa, sementara si korban hanya bisa membisu tanpa keadilan, menanggung rasa sakit dan perih yang perlahan-lahan merobek jiwa mereka.


Itulah yang mendorong Meta dan saya untuk menciptakan sebuah film dokumenter berjudul ‘Korban yang Diam’ yang berisi kisah dari korban pelecehan seksual. Tujuan kami ialah untuk mengangkat isu ini  ke permukaan, biar masyarakat Dayak yang selama ini mengambil perilaku tidak peduli dengan tameng budaya menjadi sadar akan realita yang terjadi. Pelecehan seksual menyerupai kanker yang merusak jiwa generasi muda, menghancurkan jati diri dan huruf sebuah lapisan masyarakat. Meta ingin biar masyarakat mengetahui dua hal. Pertama, fakta bahwa korban-korban tersebut ada di sekeliling mereka. Kedua, membisu itu menyakitkan. Siapa yang lebih mengetahui penderitaan itu selain dari mereka yang telah mengalaminya? Tapi ketidakpedulian masyarakat terhadap isu ini menciptakan para pelaku kejahatan tidak pernah jera, terus saja melancarkan aksinya. Dengan pemulihan yang bertahap ia alami, Meta ingin biar para ‘korban diam’ lainnya di luar sana tahu bahwa pemikiran akan masa depan yang hancur itu ialah kebohongan belaka. Meski dengan air mata yang terus mengalir deras di pipinya, Meta berhasil menuturkan semua kisahnya.


Sambil memandang rekaman audiovisual di komputer, dan mengingat keteguhan hati gadis yang sedang berbicara di sana, saya tersenyum. Perlahan namun pasti, saya menuntaskan pengeditan film tersebut.


***


‘Hai, Shin!”


Senyum lebar terukir di wajahnya. Ya, senyum Meta memang sangat lebar, perpaduan khas wajah Dayak dan Jawa.


“Bagaimana perjalananmu di Kupang, menyenangkan?”


“Tentu saja! Aku mendapat banyak sekali pembelajaran, terkhusus ihwal pemberdayaan korban. Ada juga materi ihwal pendokumentasian cerita-cerita mereka. Aku rasa kita akan punya banyak sekali PR yang harus segera dikerjakan.”


Ya, Meta kini menjadi seorang penggagas perempuan.


Semenjak trailer film Korban yang Diam mulai disebarkan, film tersebut menarik banyak perhatian publik. Kami juga mengolah kisah tersebut dalam bentuk rohani dengan judul lain yaitu Gadis Pengharapan. Film tersebut ditayangkan dalam sebuah ekspo film rohani di kota kami dan masuk ke situs rohani dunia. Gadis Pengharapan juga diunggah ke Youtube dan dibagikan oleh banyak orang bahkan dari luar provinsi. Film Gadis Pengharapan dan Korban Yang Diam juga dibawa kemana-mana oleh Meta, diputarkan dalam pertemuan-pertemuan aktivis, kegiatan pemberdayaan wanita dan seminar-seminar.  Demikianlah Meta mulai membangun programnya sendiri sebagai penggagas wanita yang berfokus kepada pelecahan seksual dan perdagangan manusia. Ia berjejaring dengan aneka macam forum wanita baik dalam lingkup provinsi dan nasional.


Semenjak film tersebut diluncurkan, semakin banyak gadis-gadis yang tiba kepada kami dengan dongeng bahwa mereka juga pernah menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan. Dalam delapan bulan terakhir, tidak kurang dari sepuluh kasus gres yang terungkap. Para korban ini menyampaikan bahwa mereka beroleh keberanian untuk bicara sebab menonton kisah Meta melalui film Korban yang Diam dan Gadis Pengharapan. Mereka menjadi yakin bahwa hidup mereka belum hancur. Bila Meta bisa bertahan melalui hal itu dan pulih, hal yang sama niscaya juga berlaku untuk mereka. Kami melayani mereka untuk pemulihan eksklusif melalui pendalaman spiritual dan konseling, serta membawa mereka ke dalam kehidupan sosial yang akan membantu mereka untuk sanggup berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Sekarang beberapa dari mereka siap untuk mendokumentasikan kisah-kisah mereka untuk juga dipublikasikan, dengan tujuan dan keinginan akan ada perubahan dalam tatanan sosial, budaya maupun pemerintahan, biar penitikberatan akan tindak kejahatan seksual ini bisa mulai dilakukan.


Dengan kedua mataku, saya melihat para gadis dewasa yang dulunya muram, tidak mempunyai tujuan hidup, terpuruk dalam penderitaan dan penolakan, kini bisa tersenyum lebar dengan mata yang bersinar-sinar dan mensyukuri anugerah kehidupan yang diberikan kepada mereka. Tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada melihat hidup seseorang dipulihkan.


Ini semua berawal dari keberanian seorang gadis berkulit coklat bermata bundar yang mempunyai senyum lebar. Ia telah melalui perih dan luka yang mendalam, hingga bahkan ia tidak sanggup terluka lagi. Yang ada kini hanyalah kasih dan keinginan nrimo untuk melihat  orang lain sanggup lepas dari jerat masa kemudian yang kelam.


Aku tidak pernah tahu bagaimana rasa sakitnya. Namun saya tahu dan bisa mencicipi segala kebaikan yang terpancar dari hatinya. Meta bertekad bahwa ia tidak akan berhenti hingga di sini, namun akan terus berjuang hingga kelak bisa mendirikan sebuah yayasan untuk perempuan. Meta Ministry, itu ialah nama yang ia pilih. Dengan semangat ia menceritakan visi dan mimpinya, untuk suatu hari nanti bisa menolong perempuan-perempuan yang terjerat dalam pekerjaan sebagai PSK, perempuan-perempuan dengan disabilitas, wanita dan bawah umur yang mengalami kekerasan. Aku yakin, Meta niscaya bisa mewujudkan mimpinya itu. saya bisa seyakin itu sebab saya melihat bahwa mimpi dan visinya itu bukanlah untuk kepentingan dirinya sendiri, namun bagi kehidupan orang lain. Dia tidak pernah berhenti berharap, dan ia juga tidak sanggup berhenti; ia terus saja membagikan pengharapan itu kepada mereka yang putus asa.


Dialah sang gadis pengharapan.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Gadis Pengharapan"