Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dibalas Dengan Air Susu

cetakan foto yang tertempel pada album berwarna putih kekuningan itu menyentuh ruang memor Dibalas dengan Air Susu
Foto ibu dan saya yang masih kecil


Cetakan-cetakan foto yang tertempel pada album berwarna putih kekuningan itu menyentuh ruang memoriku. Satu demi satu ingatanku menjalar kurang jelas membentuk sebuah rangkaian kejadian. Tanpa kusadari, kedua sudut bibirku mengembang dengan sangat tipis. Berharap sanggup mengulangi waktu-waktu yang ada pada foto tersebut.


Kubalikkan sekali lagi lembaran album itu. Aku melamun sejenak dikala melihat foto kecilku yang sedang berdua bersama ibuku. Senyumanku perlahan-lahan kendur. Kulepaskan foto yang tertempel pada album renta itu biar saya sanggup melihatnya dengan lebih jelas. Tiba-tiba rasa kesemutan yang muncul dari dalam hidungku meluap, merambat hingga rasa pedih di mata. Cairan dalam mataku tidak keluar, namun saya tahu bahwa cairan itu sudah mengumpul pada pelupuk mataku.


Ibu yaitu wanita terbaik yang pernah saya temui dalam kehidupanku. Walaupun saya tak jarang beradu verbal dengannya, tapi saya tahu bahwa sesungguhnya ia begitu mengasihi diriku dan juga kedua kakakku. Kasih sayangnya terwujud dari dirinya yang selalu mau mendengarkan pendapat anak-anaknya dan berusaha mengerti impian kami.


Hal yang paling membuatku salut terhadap dirinya yaitu ia tak sama memperlakukan kami para anak-anaknya menyerupai nenek memperlakukannya. Bahkan, ia tak pernah membalas perlakuan nenek terhadapnya. Seperti air tuba yang dibalas dengan air susu.


Ibu yaitu anak ke-tiga dari lima bersaudara. Pada zaman itu, ibu hidup dalam keluarga yang cukup berada. Namun, apa yang ia terima bukanlah menyerupai anak dari keluarga yang berada. Ia harus memasak, ke pasar, dan mengurusi rumah tangga. Bahkan, pendidikan SMP-nya pun tidak tamat. Perlakuan yang ibu dapatkan itu berbeda dengan perlakuan yang saudara-saudaranya dapatkan. Saudara-saudara ibu sanggup bersekolah tinggi, kursus bahasa inggris, pergi jalan-jalan bersama teman-temannya, dan tak perlu terlalu memedulikan pekerjaan rumah tangga. Selain itu, ibu juga mendapat kamar tidur yang paling kecil dan sempit dibandingkan saudara-saudaranya. Ibu tak tahu alasan pastinya mengapa ia di anak-tirikan oleh nenek. Ibu hanya bilang kepadaku, “mungkin dulu ibu bandel.”


Aku tak percaya ibu bandel. Kalau memang ia bandel, ia tak akan menuruti nenek untuk mengurusi rumah tangga. Kalau ibu bandel, mungkin ia juga sudah kabur dari rumah. Kalau ibu bandel, kini dikala ia sudah dewasa, ia tak akan sering tiba ke rumah nenek untuk menunjukkan uang atau makanan. Kalau ibu bandel, matanya tak akan berkaca-kaca ketika menyampaikan mungkin ia bandel.


Aku salut dengan ibu. Perlakuan pilih kasih yang ia terima, tak menjadikannya seorang ibu yang adikara dan mengenyampingkan kepentingan anak-anaknya. Justru sebaliknya, ia selalu berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya, selalu menyamaratakan kasih sayangnya, dan yang terpenting ia selalu mengorbankan dirinya untuk anak-anaknya.


Pengorbanannya dimulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar. Hal-hal kecil yaitu ketika kami sedang makan bersama dan lauk tinggal satu, ia akan meberikan kepada bawah umur atau ayah. Kecuali kami menolaknya, ia tak akan mengambil lauk itu terlebih dahulu. Saat memberi barang pun juga sama. Ketika ibu dan saya ingin membeli tas, tapi lantaran uang kami tak cukup untuk membeli keduanya, ia akan merelakan keinginannya. Ia akan menunjukkan anak-anaknya terlebih dahulu apa yang anak-anaknya inginkan.


Untuk pengorbanan besar yang ia lakukan yaitu ketika ia sedang mengandungku. Ketika saya masih di dalam perutnya, dokter menyampaikan bahwa saya terkena Toxoplasma. Virus ini sanggup mengakibatkan abnormalitas pada diriku dan juga membahayakan kesehatan ibu. Oleh lantaran virus itu, dokter menyarankan untuk menggugurkan saya yang masih berumur tiga bulan.


Mendengar pernyataan dokter, ibu menangis. Ia tak mau menggugurkan bayi yang ada dalam kandungannya itu. Ia ingin merawat nyawa yang ada di dalam tubuhnya itu hingga ia besar, berprestasi, hingga mempunyai keluarga gres lagi. Ibu berdoa dan terus berdoa untuk keselamatan diriku.


Akhirnya, ibu memutuskan untuk pergi ke dokter lain untuk mengetahui keadaan bekerjsama yang ada dalam perutnya. Memang benar, dokter lain itu pun menyampaikan bahwa ibu terkena Toxoplasma. Namun berbeda dengan dokter yang sebelumnya, dokter ini menunjukkan semangat kepada ibu untuk terus berdoa dan meminum minuman pencuci perut setiap hari. Sampai kini pun, ibu masih ingat betul kata-kata dokter itu.


“Ibu orang yang beriman, bukan? Ibu percaya kepada keajaiban yang sanggup Tuhan berikan?”


Dengan tekad yang kuat, ibu pun mengangguk mantap dan melaksanakan apa yang dokter anjurkan.


Bagaimana hasilnya? Tentu saja bayi yang ada dalam kandungan ibu itu selamat. Buktinya kini ada saya yang sedang menulis kisah ini.


Pengorbanan ibu pun tak berhenti hingga di situ. Ketika saya bertumbuh, saya juga sering sakit-sakitan hingga harus mengeluarkan banyak uang. Saat itu, perekonomian keluarga kami pun belum terlalu baik, maka untuk biaya pengobatanku, ibu dan ayah harus bekerja keras.


Aku ingat sekali, saya seringkali tiba-tiba sakit pada malam hari. Ketika semua orang yang ada di rumah sedang tertidur, tiba-tiba saya dikagetkan oleh sesuatu yang terasa tidak beres pada tubuhku. Aku tidak nyaman dengan tubuhku sendiri. Beruntung, dikala saya kecil saya tidur bertiga dengan kedua kakakku. Maka, ketika saya mengalami sakit, mereka eksklusif segera memanggil ibu dan ayah.


Sakit yang benar-benar saya ingat yaitu tiba-tiba saya menggigil. Aku tidak tahu apa lantaran dari tubuhku yang gemetaran itu, tapi yang niscaya saya tak sanggup menghentikan getaran yang secara refleks muncul pada sekujur tubuhku. Selain tubuhku yang gemetaran pada malam hari, saya juga suka demam tiba-tiba, bahkan yang lebih parahnya lagi tubuhku yang membiru.


Kuhapuskan cairan yang kini sudah mengalir di pipiku. Kini saya tersenyum sambil memandang foto kecilku bersama dengan ibu. Setelah mengusap foto itu satu kali, kutempelkan lagi foto itu pada badan album dan kemudian menutupnya.


Aku bersyukur mempunyai ibu yang begitu baik, pantang menyerah, dan begitu mengerti impian bawah umur dan suaminya. Tak ada satu hal pun yang sanggup membalas kebaikan ibu, kecuali rasa sayang dan bakti kepadanya. Terimakasih ibu.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Dibalas Dengan Air Susu"