Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terbenam Sebelum Senja

Di beranda rumah mungil itu ia termangu. Terduduk di atas bangku rotan yang mulai lapuk dimakan waktu. Nanar pandangannya menyapu langit sore yang mulai dipenuhi rona jingga. Satu per satu burung-burung pun terbang melintas senja, menuju malam yang kelam pada dahan-dahan cemara tua. Pandangannya jatuh pada sebatang pohon mangga kueni di halaman rumah. Sebatang pohon yang menjadi saksi kepahitan hidup yang harus ditanggungnya. Masih terang terbayang di ingatan, bencana di sore yang sama 20 tahun silam. Tiga orang petugas berseragam biru gelap tiba menemuinya. Salah seorang di antaranya cukup dikenalnya sebagai rekan bersahabat suaminya di Dinas Pemadam Kebakaran.

Ketiga wajah laki-laki di hadapannya nampak suram, serentak kegelisahan yang semenjak pagi susah-payah coba dihalaunya pun kembali menyeruak menyesakkan dada. Tangan serta kakinya terasa dingin. Jantungnya berdebar-debar begitu kencang sampai terasa nyeri. Alarm di kepalanya seolah telah memberi peringatan akan musibah yang tengah terjadi.

Benar saja, isu itu begitu mengguncang jiwanya. Suaminya, kekasih hidupnya, potongan jiwanya meninggal tertimpah reruntuhan ketika ia nekat menyelamatkan balita yang terjebak di dalam rumah yang tengah terbakar. Balita itu selamat, tapi tidak dengan suaminya. Seketika kegelapan menyergap pandangannya dan iapun terkulai tak sadarkan diri. Syok yang diterimanya begitu mengguncang perasaannya.


Sejak dikala itu dunianya tak lagi sama. Hidupnya terasa begitu sunyi dan hampa. Mataharinya telah karam sebelum tiba di batas senja. Kalau bukan sebab putrinya yang masih terlampau kecil, ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya dikala itu juga. Belum genap tiga tahun mereka menikah, tuhan telah mengambil suaminya. Terasa seakan isi dadanya terenggut sampai ke akar-akarnya.


Tak gampang untuknya membangun kehidupan bersama suaminya kala itu. Penolakan yang keras dari pihak keluarganya begitu berat dirasakan. Namun ia tak menyerah. Besarnya rasa cinta dalam hatinya menciptakan ia lebih menentukan berpisah dari keluarga. Ia tak ingin dijodohkan dengan laki-laki yang tak dicintainya, meski orang tuanya menganggap itu yang terbaik untuknya. Baginya cinta yaitu kunci utama dalam sebuah ikatan pernikahan. Karenanya ia tetap nekat menikah meski tanpa restu orang tua. Mungkin orang akan beranggapan jikalau ia telah dibutakan oleh cinta, namun baginya cintanya yaitu suci murni, cintanya sejati hanya kepada suaminya. Tak sanggup diukur meski dengan bergunung-gunung emas permata. Walau 20 tahun sekarang ia telah menjanda, ia tak pernah menyesal menentukan laki-laki itu sebagai suaminya. Tak pernah sekalipun ia berpikiran untuk menikah lagi, meski ia sadar dikala itu ia masih terlalu muda untuk hidup seorang diri. Namun baginya, cintanya hanya satu, suaminya seorang. Tak ada sosok lain yang sanggup menggantikannya. Cintanya akan terus ia bawa sampai selesai hidupnya.


Di mata keluarganya laki-laki itu mungkin hanya seorang petugas Damkar yang sering bergulat dengan maut serta banyak sekali resiko mengerikan lainya. Tapi baginya, suaminya yaitu pahlawan. Pahlawan bagi masyarakat, serta pendekar bagi keluarga.


Masih diingatnya bagaimana dulu laki-laki itu berjuang demi mendapat restu dari kedua orang tuanya biar sanggup menikahinya dengan selayaknya sebuah pernikahan. Berkali-kali laki-laki itu ditolak, berkali-kali lagi ia mencoba. Sampai jadinya dirinya sendiri yang tak kuasa sebab mendengar orang tuanya akan menjodohkannya dengan paksa.


Berbekal sedikit uang dan beberapa helai pakaian, tengah malam itu ia nekat melarikan diri. Dua hari kemudian ia resmi menjadi seorang istri petugas Damkar. Laki-laki yang begitu dicintainya. Laki-laki sederhana yang lembut perangai serta tutur bahasanya.


Sejak dikala itu mereka tinggal berdua di sebuah pondok sederhana. Diabdikannya sepenuh hidupnya bagi suaminya. Dunia terasa begitu sempurna. Tak pernah sekalipun ada perselisihan maupun pertengkaran sekecil apapun di antara mereka. Kebahagian begitu pekat menyelimuti setiap waktu yang bergulir. Sampai jadinya ia mengandung dan melahirkan seorang putri. Kebahagiaan merekapun semakin bertambah-tamba. Meski sedih kehilangan keluarga yang tak lagi mau mengakuinya, sekarang ia mendapat ganti keluarga gres yang begitu membahagiakan hidupnya.


Kini semua itu hanya kenangan. Kenangan yang masih selalu diingatnya. Kenangan yang sering menciptakan matanya lembap kala hening malam merajam. Meski berat baginya membesarkan anak seorang diri, namun ia tak pernah menyesal. Putrinya yaitu bukti dari cinta tulusnya kepada suaminya. Kini putrinya telah menjadi gadis dewasa. Perjuangannya selama 20 tahun berhasil mengantarkan putrinya menuju gelar sarjana.


Langit di ufuk barat semakin memerah. Perlahan matahari pun semakin tenggelam. Usapan lembut di bahunya menyadarkan ia dari lamunan.


“Sudah rembang petang, ibu masih saja melamun.” lirih putrinya dikala itu, menarik benaknya dari kisah masa lalu.

“Ibu ingat ayahmu. Betapa waktu begitu cepat berlalu.” bisiknya menerawang.


Putrinya hanya diam, mencoba meresapi kerinduan ibunya kepada ayah yang tak pernah sempat dikenalnya. Ia masih terlampau kecil untuk mengingat usapan dan pelukan lembut ayahnya kala itu. Meski demikian, ia sanggup menyayangi ayahnya lewat kisah-kisah yang seringkali diceritakan ibu padanya. Suatu hari kelak, ia ingin memiliki cinta menyerupai cinta ibu pada ayahnya. Yang tak pernah lekang oleh waktu. Yang tak pernah surut oleh terjangan angin kencang dan topan.


Kadang ia sedih melihat kesunyian dalam hidup ibunya. Namun tak ada yang bisa dilakukannya, ibunya telah menentukan satu cinta dalam hidupnya. Ayah yaitu cinta pertama dan terakhir bagi ibunya. Ibu menyayangi ayahnya lebih dari ibu menyayangi kehidupannya sendiri. Demi cinta ibu rela menanggung sunyi di sepanjang perjalanan hidupnya. Dulu, ketika ia masih remaja dan belum pernah sekalipun mencicipi cinta, ia pernah bertanya kepada ibunya mengapa ibu sanggup hidup dalam kesendirian. Sambil membelai lembut kepalanya, ibu berkata, ketika seorang istri setia dalam kesendiriannya, meski suaminya telah tiada di sisinya lagi, di alam abadi kelak istri yang setia itu akan dipertemukan kembali dengan suaminya. Jika mengingat ucapan ibu kala itu, betapa sanggup ia rasakan kerinduan dan cinta dalam hati ibunya, yang rela menanggung kesunyian sampai selesai hidup demi sanggup bersatu kembali dengan seseorang yang amat dikasihinya.


***


Kini gundukan merah di hadapannya itu masih basah. Tak henti air matanya mengalir mengingat semua pengorbanan yang diberikan ibu padanya. Pengorbanan cinta ibu terhadap ayahnya. Air matanya semakin deras mengalir, kala diingatnya bagaimana selesai hidup ibunya.


Akhir pekan itu menyerupai biasa ia dan suaminya pergi berkunjung ke rumah ibu. Ibu tak pernah mau jikalau diajak tinggal bersamanya. Sudah berkali-kali ibu dibujuknya, namun berkali-kali juga ibu menolak. Ibu bilang ia tak mau meninggalkan rumah kenangannya bersama ayah. Bagi ibu rumah itu menciptakan ibu selalu merasa bersahabat dengan ayah. Padahal ia begitu khawatir meninggalkan ibunya tinggal hanya seorang diri.


Pagi itu, setibanya ia di rumah ibunya. Ia mencicipi suasana yang nampak berbeda. Keheningan yang tak biasa. Firasatnya menyampaikan ada sesuatu yang jelek terjadi kepada ibu. Apalagi ketika ia mendapati pintu rumah yang tak terkunci. Ia bergegas masuk ke kamar ibunya. Seketika air matanya mengalir tak terbendung, melihat ibunya terbaring kaku memeluk seragam damkar ayahnya yang telah usang. Ibunya telah tiada, menyusul kekasih yang telah lama dirindukannya. Senyum hening terlukis di wajah tirus ibu yang betapa amat dikasihinya. Ibu yaitu lambang cinta sejati dalam hidupnya. Dalam hati ia berdo’a biar Ibu sanggup bersatu kembali dengan ayahnya.


Cinta, betapa engkau sanggup menahan matahari untuk terus karam tanpa pernah terbit kembali.


Tamat


Perempuan Sunyi


Di jelaga malam yang sunyi mencekam

Lonceng kenangan berdentang-dentang tajam

Pembaringan itu lembap oleh air mata kerinduan

Dari kekasih yang mendamba hangatnya sentuhan.


Kecuplah lukaku, jeritnya pada malam yang diam

Biar sunyi ini kupeluk, kusandang kolam gaun pengantin pertama

Demi cintaku padamu wahai matahari yang tenggelam

Kunikmati senyap dan bisunya kesendirian.


Kepada engkau Maha Cinta di atas segala cinta

Dalam tangan-Mu kuletakkan cinta, pengorbanan dan kesetiaan

Ketika cintaku menentukan sunyinya kenangan

Genggamlah jari-jemari kami, dan persatukan.


07/02/2017



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Terbenam Sebelum Senja"