Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah Ibu

Rumah itu tampak suram dan tak terurus. Beberapa cuilan dindingnya ditumbuhi lumut dan jamur. Banyaknya pepohonan renta yang tumbuh rimbun di sekitarnya menciptakan cahaya matahari yang menyinari sekeliling daerah itupun terbatas. Rerumputan serta tumpukan dedaunan berantakan memenuhi hampir seluruh permukaan tanah dan halaman.


Kulangkahkan kakiku menaiki satu demi satu undak-undakan menuju beranda rumah itu. Dari pengamatanku agaknya hampir keseluruhan cuilan rumah itu dibangun dari papan dan kayu. Meski demikian bangunan rumah itu masih tampak kokoh.


Perlahan, kuputar hendel pintu di hadapanku. Agak serat. Diiringi derit nyaring engsel yang suda berkarat, pintu itupun bertahap terkuak. Aroma pengap dan lembab pun serta-merta menyergap hidungku. Lapisan abu tebal dan sarang laba-laba menutupi seluruh permukaan lantai dan langit-langit. Dinding yang semula berwarna coklat sekarang tampak menghitam lantaran debu. Tanpa perasaan ragu kulangkahkan kaki memasuki rumah itu. Di sudut rumah kudapati sesosok perempuan bergaun hitam duduk tertunduk. Aku tersentak menyadari siapa sosok itu.


“Ibu?” pekikku.”Mengapa ibu ada di sini?” saya menghambur menghampiri perempuan itu yang ternyata yaitu ibuku.


“Ini rumah ibu.” jawab ibuku. Suaranya terdengar sendu.


“Rumah ibu?” ujarku tak percaya. “Rumah ini begitu kotor. Mengapa ibu sanggup tinggal di daerah menyerupai ini?” tanyaku heran.


Ibu tak menjawab keherananku. Ia hanya membisu tertunduk. Kemudian satu per satu kulihat air mata ibu jatuh menetes. Aku merasa semakin bingung. Kedua bahunya berguncang keras, kemudian ibu terisak teramat pilu. Membuat tanpa sadar air matakupun jatuh mengalir. Kujatuhkan diri bersimpuh di hadapan ibuku.


“Oh ibu… Ada apakah dengan ibu? Mengapa ibu menangis? Dan mengapa ibu ada di sini? Katakanlah padaku ibu.” kugenggam dekat kedua tangannya.


“Ini semua lantaran kamu Nak.” ujar ibu di sela-sela isak tangisnya. Membuat saya tercekat. “Kau tak pernah menjenguk ibu di sini. Kau sudah lupa pada ibu.”


“Tidak! Aku tidak pernah lupa pada ibu.” Jeritku pilu.


“Tapi kamu tak pernah menjenguk ibu. Kau tak pernah tiba ke rumah ibu. Kau sudah melupakan ibu.” ungkapnya bertubi-tubi, menciptakan dadaku sesak oleh rasa bersalah dan penyesalan.


“”Ibu… Oh ibu… Aku tak pernah lupa pada ibu… Aku selalu ingat… Hanya saja saya aku merasa sulit.. Ibu maafkan saya ibu… maafkan aku…”


Saat itu rasanya dadaku begitu sesak oleh rasa bersalah dan penyesalan. Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Aku merasa begitu bersalah pada ibu. Aku menangis dan terus menangis hingga tersengal-sengal kehabisan nafas. Sampai akhirnya, malam mengembalikan kesadaranku.


Aku terjaga dari mimpiku. Tangisku pecah membasahi permukaan bantal. Hatiku begitu sakit mengingat mimpi yang gres saja kualami.


Ibu… maafkan saya ibu… Maafkan aku… Betapa usang saya tak pernah lagi menziarahi pusaramu. Bukan saya tak mau, hanya saja saya tak lagi menyerupai dulu. Aku merasa sulit untuk mencari pusaramu di tengah ribuan pusara lainnya dengan keadaanku ketika ini tanpa santunan orang lain. Oh ibu… Betapa ingin kukunjungi pusaramu, kubersihkan dan kurawat biar engkau tak lagi tinggal di rumah yang kotor dan suram.


***


Mimpi itu kualami ketika saya masih duduk di dingklik sekolah. Kira-kira 5 tahun lalu. Ketika itu saya masih tinggal di asrama. beberapa hari sehabis mimpi itu, seorang diri saya nekat mengunjungi pusara ibuku di TPU Cilincing Jakarta Utara. Dalam hati saya berdo’a semoga saja petugas TPU ada yang bersedia membantu saya mencari pusara ibuku. Keadaanku yang tak sanggup melihat tentu saja menyulitkanku mencari pusara ibuku tanpa santunan orang lain.


Saat itu di Jakarta saya memang hanya tinggal seorang diri. Sanak saudaraku semua sudah pindah ke kampung halamanku di Lampung. Itu sebabnya selama ini saya tak pernah lagi menziarahi pusara ibuku. Aku khawatir tanpa ada yang menemani saya tak sanggup menemukan pusara ibuku. Tapi ternyata kekhawatiran hanyalah tinggal kekhawatiran, lantaran ternyata ketika saya berkunjung ke TPU di mana Almarhumah ibuku di makamkan, cukup banyak petugas TPU yang mau membantu. Rasanya bersyukur sekali saya ketika itu. Sebelum mencoba memang tak sepatutnya kita menyerah. Karena ternyata kekhawatiranku selama ini hanya ada di dalam pikiranku saja.


Sejujurnya selama ini saya selalu berpikir jikalau mimpi yaitu hanya sekedar bunga tidur, apalagi ketika itu saya memang begitu ingin menziarahi pusara ibuku. Dalam hati saya merasa bersalah lantaran sudah cukup usang tak pernah lagi berziarah. Aku takut ibu murka padaku dan saya berdosa padanya. Itu sebabnya mungkin mimpi itu terbentuk di dalam tidurku. Mungkin itu yang dimaksud dengan pesan dari alam bawah sadar. Apapun maksud dari mimpi itu, saya tetap sangatt bersyukur, lantaran mimpi itu menciptakan saya berani mencoba dan berusaha.


Jika berbicara cita-cita perihal ibu rasanya amat banyak sekali. Ingin ini ingin itu untuk membahagiakan ibu. Tapi berhubung ibuku telah tiada, rasanya murung jikalau berbicara mengenai dirinya. Tak ada yang sempat kkuberikan pada ibu selama kehidupannya lantaran ibu terlalu cepat pergi meninggalkan aku. Padahal, betapa banyak hal yang sudah ibu berikan kepadaku. Jika boleh bermimpi perihal dirinya, saya ingin ia kembali. Sangat tak lezat rasanya hidup tanpa ibu, apalagi ketika kita kehilangan dirinya kita masih kanak-kanak. Hidup terasa tak lagi terarah. Tak ada daerah mengadu dan bersandar. Pepatah menyerupai anak ayam kehilangan induknya terasa begitu tepat.


Bersyukurlah bagi yang masih mempunyai ibu. Jangan hingga kita mencicipi kehilangan dahulu gres kita menyadari jikalau sesuatu itu sangat berharga.


Aku Cinta Engkau Ibuku


Salam Santun Bersahaja


Tuty Syahrani


07/04/2017



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Rumah Ibu"