Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mimpi Buruk

Aku menahan nafasku yang tersengal-sengal, megap-megap kehabisan udara lantaran terlalu usang berlari. Paru-paruku terasa sakit. Jantungku berdetak begitu kencang hingga rasanya saya nyaris mendengarnya. Ia tak boleh menemukan tempatku bersembunyi! Aku tak ingin tertangkap! Gemetar kudengar langkah kakinya mendekati tempattku. Susah-payah kuredam bunyi nafasku yang masih memburu.


Lorong itu begitu sepi dan suram dengan mengandalkan penerangan hanya dari cahaya bulan yang remang-remang. Saat itu saya bersandar tegang pada dinding kelabu lorong yang dingin, di balik truk renta yang agaknya tak lagi terpakai. Sepertinya ia menyadari kehadiranku di balik truk, lantaran kemudian kudengar langkahnya semakin mendekat. Sebelum ia menemukanku, saya segera melesat berlari menjauhinya. Meski sepasang kakiku terasa ibarat agar-agar, namun saya tak boleh berhenti. Aku tak ingin ia berhasil menangkapku. Di sudut tikungan saya berbelok ke kanan. Dengan tersengal saya masih terus berlari tanpa pernah menoleh ke belakang. Aku terlalu takut melihat sosoknya di belakangku. Semakin jauh saya berlari, saya semakin merasa lorong ini bertambah suram. Cahaya semakin usang semakin berkurang, hingga kesannya kegelapan memenuhi sepanjang lorong yang kulalui. Kepanikanku mebuat saya tak menyadari keadaan di sekelilingku, saya masih saja terus berlari dan berlari tanpa pernah berpikir untuk berhenti. Sampai akhirnya, saya menabrak sesuatu di hadapanku, dan sebelum saya terjatuh, sesuatu itu menangkap tubuhku. Spontan saya menjerit ketakutan.. Aku menjerit dan terus menjerit tanpa henti. Kurasakan guncangan pada bahuku, kemudian kudengar sebuah bunyi memanggil-manggil namaku.


Aku tersadar, kemudian terjaga dari tidurku. Aku menatap wajah lembut laki-laki di hadapanku. Kurasakan sepasang tangannya merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat. Tangisku pecah. Rupanya saya kembali bermimpi buruk. Mimpi yang sama selama hampir sebulan ini.


“Tenang sayang, tenang.. Aku ada di sini.. Jangan takut.. Kau baik-baik saja.. Itu hanya mimpi.. Hanya mimpi.. Lupakan saja.. Hanya mimpi..”

Sambil membelai lembut punggungku yang gemetar, lirih kudengar suaranya mencoba menenangkanku.


****


Keesokan harinya saya merasa letih dan tak bersemangat. Sulit rasanya memejamkan mata kembali sehabis mimpi jelek semalam. Hari ini terasa suram. Hujan lebat serta gemuruh gunttur di luar rumah menambah gelisah perasaanku.


Sambil mencuci piring saya merenung, memikirkan mimpi semalam. Sudah hampir sebulan mimpi itu selalu menggangguku, menciptakan tidurku tak nyenyak. Akibat mimpi jelek itu, malam-malamku kini dipenuhi kegelisahan. Aku mulai merasa takut untuk tertidur. Takut bila mimpi itu akan tiba kembali. Hembusan angin yang masuk dari kisi-kisi jendela dapur membuatku bergidik. Aku mencicipi ada sesuatu yang mengendap-endap di belakangku. Sebelum saya berbalik untuk melihat, tiba-tiba saja saya mencicipi sesuatu mencengkram lenganku. Spontan saya menjerit. Piring yang kupegang jatuh dan pecah acak-acakan di lantai, menyebabkan bunyi yang begitu gaduh.


“Ya ilahi Zia, kamu kenapa begitu terkejut? Ini kan aku?” sentak Asmira, menciptakan saya terkesiap. “Sejak tadi kamu kupanggil diam saja, karenanya saya menyenggolmu. Pagi-pagi kamu sudah melamun.” cerocosnya, membantuku memunguti pecahan piring di lantai.


Aku hanya sanggup diam mendengar ocehannya, merasa gundah dengan diriku sendiri. Mengapa saya begitu terkejut?


Asmira yakni sepupu perempuanku. Sudah hampir sebulan ini ia berada di rumahku, menghabiskan masa liburan kuliahnya. Sejak saya menikah, kesibukanku bekerja serta letak kawasan tinggalku yang tak lagi berdekatan dengannya menciptakan kami jarang sekali bertemu. Kebetulan sudah sebulan ini saya berhenti bekerja. Aku tak bisa mengingat terang bagaimana kejadiannya. Yang kuketahui sebulan kemudian saya terbangun, menyadari diriku telah berada di rumah sakit. Dokter menyampaikan bila saya terjangkit radang otak. Sejak dikala itu suamiku melarangku untuk kembali bekerja. Meski enggan rasanya menghabiskan sepanjang waktu di rumah saja, namun saya tak ingin membantah keinginannya. Entah mengapa sebulan terakhir ini saya merasa ia nampak berbeda. Tadinya kupikir hal itu disebabkan lantaran kekhawatirannya kepadaku. Namun sehabis kesembuhanku, ternyata ia masih saja nampak murung.


***


Siangnya langit nampak cerah. Hujan telah berhenti, meninggalkan jejak berair pada permukaan kaca. Beberapa genangan air di halaman memantulkan cahaya cerah matahari. Aroma segar rrumput berair menciptakan kegelisahan dalam hatiku berangsur-angsur berkurang.


Asmira menghampiriku yang tengah termangu menatap tetes-tetes air yang jatuh dari ujung-ujung dedaunan pada sebatang pohon jambu biji di halaman. Ia ingin mengajakku pergi berbelanja. Ini sudah yang ketiga kalinya ia mengajakku, sehabis ahad kemudian kutolak lantaran saya merasa kurang yummy badan. Sebenarnya hari ini saya juga agak malas keluar rumah, namun tak hingga hati rasanya bila saya harus kembali menolak ajakkannya.


***


Di tengah kesibukan Asmira menentukan sepatu siang itu, saya merasa ingin buang air kecil. Ini niscaya imbas dari banyaknya air yang kuminum sewaktu makan siang. Setelah berpamitan pada Asmira, akupun segera bergegas menuju toilet terdekatt yang letaknya tidak mengecewakan jauh, berputar-putar, menuruni beberapa anak tangga yang cukup panjang. Membuatku hampir saja tak bisa menahan desakan yang semakin menekan kandung kemihku.


Suasana toilet begitu sepi dan remang-remang. Hal itu membuatku gelisah. Sekilas kutatap pantulan diriku di cermin. Aku nampak pucat dan lelah. Ada bundar hitam di bawah mataku.


Usai buang air kecil, saya segera bergegas keluar. Entah mengapa saya semakin merasa tak tenang. Apalagi dikala kudengar bunyi langkah kaki yang bergaung mendekat. Dari keremangan lampu saya melihat sosok bayangan yang melangkah ke arahku. Nafasku tercekat. Lututku gemetar. Detak jantungku terasa bertalu-talu di telingaku. Aku semakin merapattkan diri pada dinding putih yang terasa hirau taacuh di belakangku. Bayangan itu melangkah semakin dekat, bertambah dekat. Membuatku semakin dicekam kengerian. Aku menjerit sekuat suaraku ketika kurasakan sepasang tangan hitam mencengkram bahuku.


“Zia! Tenang Zia! Tenang! Ini saya Asmira!”


Asmira? Aku bagaikan disiram seember air hirau taacuh menyadari perkataannya. Oh tuhan… Mengapa saya begitu ketakutan? Aku bersandar lemas padanya yang dikala itu masih mengguncang-guncang lenganku. Ia membimbingku keluar dari toilet, kemudian membawaku masuk ke sebuah Food court terdekat. Dimintanya saya untuk duduk, kemudian diberikannya saya segelas air mineral. Dengan gemetar saya meminum air itu hingga habis. Aku mencoba mengatur nafasku yang masih memburu. Lambat-laun perasaanku mulai tenang. Aku melihat keprihatinan pada sorot matanya. Entah mengapa tatapannya membuatku merasa kikuk.


“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya, mengisi kembali gelas kosong di hadapanku. “Minum lagi.” perintahnya.

“Aku baik-baik saja.” jawabku, kembali menghabiskan air di hadapanku. “Tadi saya hanya terkejut.” jelasku menunduk.

“Kau begitu usang di toilet, membuatku khawatir. Karenanya saya tetapkan untuk menyusulmu.”

Aku hanya bisa diam mendengar penjelasannya. Tak ada yang bisa kukatakan, lantaran saya sendiripun merasa gundah pada diriku sendiri.

“Sepertinya kamu lelah. Lebih baik kita pulang saja.” putusnya.


***


Senja ini suamiku pulang lebih cepat. Kulihat ia agak cemas memperhatikanku.


“Kau baik-baik saja sayang?” tanyanya mengecup dahiku lembut. Sore itu saya tengah duduk di ruang tidur kami. Termangu, menatap cakrawala yang mulai memerah di ufuk barat. Aku tersenyum memeluknya. Kehadirannya selalu bisa membuatku merasa tenang.


“Aku baik sayang.”

Aku membantu membuka dasi dan kemejanya. Ia nampak letih.

“Kau pucat.” ungkapnya khawatir, membelai wajahku.

“Ah saya hanya sedikit letih. Kau tahu saya kurang tidur semalam.” sorot matanya nampak prihatin menatapku.

“Kalau begitu lebih baik kamu istirahat. Aku tak ingin kamu sakit.”

“Jangan cemas, saya baik-baik saja.” Aku tak ingin Aska berlebihan mencemaskanku. Sudah banyak yang harus dikerjakannya di kantor, tanpa perlu ditambahi keadaanku.


Usai makan malam ia memintaku lekas-lekas beristirahat. Karena merasa lelah akupun mematuhi permintaannya. Sebelum tidur ia memintaku meminum obat yang dikatakannya bisa menciptakan tidurku lebih nyenyak. Ia turut berbaring di sebelahku. Entah lantaran efek obat atau kelelahan yang kurasakan, tak usang kemudian akupun terbenam dalam tidur yang lelap.


Aku terbangun, terkejut menyadari sebelah kawasan tidurku kosong. Mataku terbuka, memperhatikan sekeliling kamar tidurku. Hanya ada saya sendiri. Entah di mana Aska.


Aku turun dari ranjang tidurku, melangkah keluar kamar. Aku merasa haus. Sekilas kuperhatikan jam yang tergantung di dinding. Hampir tengah malam. Di lorong menuju dapur, sekilas saya mendengar bunyi Suamiku dari kamar Asmira. Dengan heran saya mendekat. Semakin terang kudengar suaranya berbicara dengan Sepupuku.


“Tidak! Ia tak perlu tahu tragedi itu. Itu akan menyakitkannya.” sanggah Aska.

“Tapi hingga kapan? Sampai kapan kamu mau menyembunyikan semua darinya! Semakin hari ia semakin aneh!” protes Asmira. Nada suaranya semakin meninggi.

“Aku tak tahu.” desahnya lelah. “Aku tak tahu Asmira. Aku tak ingin ia tahu tragedi itu. Aku takut itu akan menghancurkannya.” suaranya begitu penuh dengan keputus asaan.

“Setidaknya kamu bisa bawa ia ke rumah sakit.”

“Ia tidak gila!” potongnya.

“Aku tak bilang ia gila!” sahut Asmira. “Hanya saja ia semakin aneh! Ia jadi sering melamun. Terdiam tiba-tiba. Kemudian menjerit tanpa sebab. Ia ibarat orang ketakutan! Tak hanya kamu yang mencemaskannya, tapi saya juga.”


Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan semenjak tadi. Aku merasa tak yummy lantaran tengah menguping pembicaraan mereka. Namun rasa penasaranku menciptakan saya tetap terpaku di depan pintu.


“Aku sudah meminta obat dari dokter yang dikala itu pernah menanganinya. Ia bilang itu sanggup menciptakan Zia lebih tenang. Kuharap obat itu sanggup membantunya beristirahat, tanpa harus diganggu mimpi buruk.”

Aku terkesiap, mulai menyadari bila semenjak tadi mereka tengah membicarakanku.

“Sampai kapan kamu akan memberinya obat itu? Apa obat itu sanggup menciptakan ia berhenti ketakutan? Aska, kamu harus memikirkan kehidupan ia ke depannya nanti. Sekarang saya masih di sini, masih bisa menjaga dan memperhatikannya. Tapi bagaimana bila nanti ia sendiri? Apa kamu yakin tak akan terjadi apa-apa terhadapnya? Ayolah, coba berpikir. Mau tak mau kamu harus membawanya ke psikiater. Masalah kesannya ia bisa mengingat atau tidak tragedi itu, semuanya bisa kita serahkan pada ahlinya. Setidaknya kita tak membiarkan ia dalam keadaannya sekarang.”

Aku semakin gundah mendengar pembicaraan mereka. Apa sebetulnya yang mereka bicarakan. Apa yang tak kuingat? Apa yang terjadi padaku dan saya lupakan? Ya tuhan… Ada apa sebenarnya?

Cukup usang tak terdengar pembicaraan apapun dari dalam.

“Baiklah, akan kupikirkan semua saranmu.” desisnya kemudian. Kudengar Asmira mendesah tak sabar.

“Jangan terlalu usang berpikir. Kasihan istrimu. Oh ia, Kaprikornus bagaimana hasil Labnya? Apa sudah keluar?” tanya Asmira.

“Sudah, ternyata benar ia pelakunya. Aku benar-benar tak menyangka bila ia bisa sekejam itu.” Geramnya. ” Namun tragedi yang sebetulnya masih menjadi sebuah teka-teki.” lanjutnya.

“Apa bukan ia yang mendorong Zia jatuh dari gedung itu Aska?”

“Aku dan polisi juga berpikir ibarat itu, sehabis ia memperkosanya, ia mendorongnya jatuh dari gedung itu. Kasihan Zia, hal itu niscaya sangat mengerikan untuknya. Aku melarang polisi untuk bertanya pada Zia. Sebenarnya saya lebih menentukan bila Zia tak bisa mengingat tragedi itu untuk selamanya. Aku tak ingin ia terluka.”


Sepasang kakiku terasa gemetar begitu hebat. Kulihat benda-benda di sekelilingku bergoyang. Kilasan demi kilasan tragedi melintas di pikiranku.


Malam itu saya terpaksa lembur di kantor, lantaran harus menuntaskan pekerjaan yang cukup banyak jawaban dikejar deadline. Aku menelpon suamiku, menyampaikan bila saya akan pulang agak larut. Ia terdengar khawatir, namun saya mencoba meyakinkannya bila saya akan baik-baik saja. Aku tak punya pilihan, selain mengerjakan pekerjaan malam itu juga. Meski sedikit khawatir dengan suasana kantor yang mulai sepi, namun saya mencoba mengabaikannya. Di tengah-tengah keseriusanku menatap layar komputer, tiba-tiba saya mendengar ketukan di pintu kantorku. Kedudukanku yang cukup tinggi, membuatku mempunyai ruangan kerja tersendiri. Meski kecil, namun saya merasa nyaman.


Aku membuka pintu dan melihat Lio sahabat sekantor yang cukup bersahabat denganku berdiri tersenyum di balik pintu. Aku telah usang mengenalnya. Dari sebelum saya menikah. Ia laki-laki yang baik menurutku. Kami sering ngobrol ketika jam istirahat berlangsung. Rupanya ia hendak mengajakku untuk pulang bersama. Kukatakan padanya bila pekerjaanku masih banyak, dan mungkin saya akan pulang agak larut. Di situlah awal musibah itu berlangsung.


Sekali lagi saya menyelidiki hasil pekerjaanku malam ini. Setelah kurasa semuanya telah sesuai, akupun menyudahinya dan tetapkan untuk segera pulang.


Lorong kantor terasa begitu lengang ketika saya tengah berjalan menuju lift. Saat saya berbelok di tikungan, tiba-tiba sepasang tangan mencengkram besar lengan berkuasa lenganku dan menyeretku masuk ke sebuah ruangan. Aku meronta dan menjerit sekeras mungkin. Sebuah tangan membekap mulutku. Spontan saya menggigit tangan itu. Penyergapku tersentak kesakitan. Pegangannya di lenganku mengendur hingga saya sanggup meronta melepaskan diri. Aku berlari dengan dipenuhi kepanikan dan perasaan takut yang teramat sangat. Di belakangku kurasakan penyergapku terus mengejarku. Lorong demi lorong kulalui. Namun tak juga saya temukan jalan keluar. Kepanikanku menciptakan pikiranku buntu. Kemudian saya melihat pintu Lift di sebelah kiriku. Lekas saya menekan tombol, namun sebelum pintu itu terbuka, penyergapku telah berada semakin dekat denganku. Karena tak mau tertangkap, kesannya saya kembali berlari. Aku tersengal-sengal kehabisan nafas. Kakiku terasa lemas dan gemetar. Kelelahan membuatku terjatuh lantaran tersandung kakiku sendiri. Susah-payah saya bangkit, namun saya terlambat. Penyergapku telah berhasil mencengkram rambutku dan dengan garang menarikku. Sebelum saya berhasil menjerit, kurasakan pukulan yang cukup keras di sisi kepalaku. Membuat saya tersentak, telingaku berdenging, pandanganku berkunang-kunang dan mengabur hingga saya tak lagi sanggup mengingat apapun.


Saat saya membuka mataku, rupanya saya tengah tergeletak di lantai yang keras dan dingin. Di hadapanku kulihat sosok laki-laki yang membuatku terkejut. Cepat-cepat saya bangun untuk duduk. Namun sebelum sempatt saya melakukannya, laki-laki di hadapanku tiba-tiba saja menindihku. Untung saja tak usang saya pingsan, hingga ia belum sempat membuka pakaianku.


Sambil menindihku, susah-payah ia mencoba menarik lepas bajuku, hingga kesannya kancing-kancing blueskupun terlepas berhamburan di lantai. Rontaan dan teriakanku sama sekali tak diperdulikannya. Ia bahkan tak terlihat terganggu dengan semua itu. Ketakutan dan kengerian semakin membuatku hilang akal. Tangisku pecah. Aku mulai kelelahan. Hal itu justru menciptakan nalar sehatku perlahan kembali. Akupun mulai memohon-mohon kepada penyergapku.


“Berhenti, kumohon padamu… Jangan lakukan ini… Kumohon jangan Adri…” pintaku bersimbah air mata.

“Tidak! Aku tak akan berhenti!” hardiknya. ” Aku benci padamu, pada aska, pada kalian berdua.. Aku akan menghancurkan kalian.. Salah sendiri kamu lebih memilihnya dari pada aku..” geramnya, merobek pakaian dalamku. Aku hanya sanggup terisak menanggung semua penghinaan ini. Rontaanku sudah tak lagi bertenaga.


“Kumohon Adri, kamu tak perlu melaksanakan hal gila ibarat ini..”

“Diam kau!” cercanya. “Kau pikir siapa yang membuatku gila ibarat ini? Kau! Kau yang membuatku gila Zia.. Kau telah menghancurkan perasaanku, dan saya akan menghancurkan hidupmu.. Sudah usang saya menunggu saat-saat ibarat ini.. Kebetulan saya mendengar kamu bicara dengan temanmu itu.. Iblis telah berpihak padaku malam ini.. Dan malam ini akan kubuat menjadi mimpi jelek dalam sepanjang kehidupanmu..” ancamnya, menciptakan saya bergidik ngeri.


Aku tak pernah menyangka bila ia bisa berbuat sekeji ini padaku. Adri yakni temanku semenjak saya masih kanak-kanak. Sejak kecil kami memang selalu bersama. Tak ada saya tanpa Adri, begitupun sebaliknya. Sekolah, kuliah, hingga bekerja kami selalu bersama. Adri selalu ada untukku kapanpun saya membutuhkannya. Aku tak pernah menduga bila selama ini Adri mempunyai perasaan lebih padaku. Karena selama ini saya hanya menganggap Adri ibarat saudaraku sendiri. Saudara laki-laki yang tak pernah saya miliki. Sampai suatu hari saya mengenal Aska, dan menjalin relasi dekat dengannya. Sejak dikala itu Adri mulai berbeda. Ia mulai nampak tak bersahabat denganAska, padahal sebelumnya Aska yakni sahabat baik yang dikenalkannya padaku.

Sikap dan tindakannya mulai semakin aneh. Ia sering melarangku jalan dengan Aska. Ia menyampaikan padaku bila Aska bukan laki-laki baik-baik. Sampai kesannya saya tahu bila ia mencintaiku. Bahkan menurutku ia agak teropsesi padaku.


Suatu ketika saya tak sengaja membuka lemarinya dan terkejut melihat banyak macam-macam barang kepunyaanku yang kupikir telah hilang ada di dalam lemarinya. Tersusun dengan begitu rapi. Dari mulai ikat rambut, gelang, boneka, hingga kaus dari masa kanak-kanak kami berdua. Setumpuk album yang berisi semua foto-fotokupun tersimpan di dalam lemari itu. Aku mulai merasa ngeri mengetahui semuanya. Saat itu ternyata ia memergokiku. Akupun tak bisa untuk akal-akalan tak menyadari apa yang telah kulihat dikala itu. Dengan dipenuhi perasaan kikuk akupun kesannya bertanya padanya.


“Adri? Mengapa semua barang-barangku ada di dalam lemarimu?”

Sekilas kulihat wajah Adri menegang, kemudian kembali tenang. Ia tersenyum padaku. Namun entah mengapa senyumnya terasa aneh di mataku. Seperti dibuat-buatt.

“Ah itu saya tak sengaja menemukannya. Aku lupa mengembalikan jadi kusimpan saja sendiri.”

Alasan yang aneh nenurutku. Begitu banyak barang kepunyaanku di sana. Hampir satu lemari. Aku tak menyampaikan apapun mendengar jawabannya. Aku masih dipenuhi keterkejutan.


Puncaknya yakni dikala hubunganku dengan Aska semakin serius. Hingga kami tetapkan untuk menikah. Mendengar hal itu Adri nampak sangat marah.


Sore itu saya dan Adri hanya berdua di halaman belakang rumahku. Hati-hati saya menjelaskan rencana pernikahanku dengan Aska. Mendengar perkataanku Adri serta-merta bangkit, mencengkram lenganku dan menguncang-guncangnya. Wajahnya yang tampan menyeringai mengerikan. Aku hanya terkesiap menatapnya syok.


“Mengapa Zi, mengapa? Mengapa kamu tak pernah menyadari bila saya mencintaimu? Aku yang selalu ada untukmu, bukan Aska! Aku yang lebih mengenalmu bukan dia! Tapi mengapa? Mengapa kamu justru mencintainya? Mengapa kamu tak bisa mencintaiku!”

“Adri lepas! Kau ini apa-apaan?” bentak Asmira yang dikala itu tiba-tiba tiba di tengah-tengah kami, menarik tubuhku dari cengkraman tangan adri yang terasa menyakitkan lenganku. Dengan gundah saya menatap Adri dengan perasaan iba dan ngeri.

“Maafkan saya Adri, saya aku hanya menganggapmu ibarat saudaraku sendiri, kupikir selama ini kaupun begitu. Aku tak pernah menyadari bila kamu menganggapku lebih dari itu. Maafkan aku, kuharap kamu bisa mendapatkan keputusanku menikah dengan Aska.”

“Tidak! Aku tak akan pernah rela melihatmu senang bersama dengannya.” ancamnya, melangkah meninggalkanku. Aku hanya tertegun. Tatapan terakhirnya begitu menusuk benakku. Dalam hati saya merasa bersalah dikarenakan telah menyakiti perasaannya. Bagaimanapun juga saya dan ia sudah begitu usang bersahabat.

“Sudah berkali-kali kukatakan, Adri itu teropsesi padamu. Tapi kamu tak pernah percaya.” ujar Asmira, menyadarkanku dari ketertegunan.


Sejak dikala itu Adri mulai menjauh dariku. Meski saya dan ia bekerja di kantor yang sama, namun ia seolah tak mengenalku. Terkadang ketika jam makan siang berlangsung, saya tak sengaja melihatnya memperhatikanku ketika kebetulan kami makan di kafetaria yang sama. Ingin saya menegur dan menghampirinya. Tak yummy rasanya ibarat ini. Namun saya khawatir bila ia memang tak mau lagi mengenalku. Jadilah semenjak sore itu saya dan ia ibarat dua orang yang tak pernah mengenal. Ada perasaan sedih yang menggayut di hatiku bila kuingat bagaimana dekatnya relasi kami dahulu. Betapa mudahnya cinta berbalik menjadi benci.


“Kau jahat Adri! Jahat!” jeritku putus asa.

Aku tak menyangka bila ia bisa begitu kejamnya terhadapku. Ia telah menodaiku. Ia memperkosaku dengan begitu tak berbelas kasihan. Begitu mudahnya sebuah kasih sayang menjelma kebencian mendalam. Hingga ia begittu tega menghinakanku sehina ini.


Aku hanya bisa terisak di sudut ruang yang suram. Tertunduk menyesali kejamnya dendam. Sekilas kulihat wajahnya yang penuh kepuasan yang keji. Begitu tak sanggup kukenali lagi sosoknya yang dulu pernah kusayangi.


“Jangan menangis sayang…” desisnya di telingaku. Kemanisan di suaranya mebuatku semakin meringkuk ketakutan.

“Kubilang jangan menangis!” hardiknya tiba-tiba. Membuatku tersentak. “Aku benci mendengarmu menangis. Dulu tangisanmu selalu sanggup membuatku luluh, tapi kini saya benci mendengarnya! Berhenti atau kunikmati tubuhmu sekali lagi.” ancamnya. Sorot matanya membuatku bergidik. Seolah ingin memakanku.


Susah-payah saya menahan isak tangisku. Aku tak ingin memberinya alasan untuk melaksanakan perbuatan bejat itu lagi padaku.


“Tunggu hingga suamimu tahu apa yang telah terjadi pada istrinya yang bandel ini.” ejeknya, hampir-hampir menciptakan isakanku kembali pecah. Hatiku bagaikan disayat-sayat membayangkan apa yang akan dikatakan Aska melihat keadaanku dikala ini.

“Ia niscaya akan mencampakanmu.” Kudengar ia terkekeh membayangkan ucapannya.

Entah mengapa perkataannya membuatku merasa begitu takut. Takut bila semua itu benar. Aku takut bila Aska akan menganggap jelek diriku.

“Ia niscaya akan menganggapmu perempuan murahan, perempuan jalang! Lihat pakaianmu. Aku tak yakin ia akan mau menerimamu lagi.” sekali lagi kudengar ia terkekeh senang. Tawanya membuatku muak! Telingaku panas mendengar ocehannya. Dadaku sesak dipenuhi kemarahan. Aku benar-benar benci padanya. Ingin rasanya saya membunuhnya dikala ini juga.


“Sebentar lagi suamimu niscaya datang. Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya melihat…”

(Plakk…!!!) Reflek tanganku menampar wajahnya. Kemarahan dalam diriku tak bisa lagi kuredam. Kulihat ia terkejutt, tak menyangka akan tindakanku. Rasa takut yang kurasakan tiba-tiba saja menghilang, berganti dengan kemarahan yang begitu kuat.


“Puas…! Puas kamu lakukan ini padaku…! Senang kau…! Kau laki-laki gila! Laki-laki jahat…! Kejam…! Tak punya hati…! Beruntung saya tak pernah jatuh cinta padamu…!”hardikku berapi-api. Ia hanya termangu menatapku tak percaya.

“Aku tak akan membiarkan kamu puas mempermalukan suamiku…! Lebih baik saya mati saja…!” Akalku tak lagi sehat. Aku terlalu takutt melihat kepedihan di wajah Aska bila melihat keadaanku dikala ini. Aku juga tak ingin memuaskan kegilaan Adri. Entah apa yang kupikirkan, rasanya jalan terbaik untuk mencuci semua malu yang terjadi padaku malam ini hanyalah kematian. Tanpa pernah kumengerti, langkahku membawa saya berlari menuju tepi gedung. Kulihat adri menatapku ngeri, dikala kupanjat pagar pembatas.


“Tidak tidak Zia…! Tidak….! Jangan…! Jangan lakukan ini!”

Kutepiskan tangannya yang mencoba meraih lenganku. Akalku seolah tak lagi berfungsi. Rasanya saya tak lagi bisa berpikir jernih.


“Kau puas… Kau akan puas Adri… Aku akan mati… dan tak ada lagi yang akan bisa kamu lakukan untuk menyakiti saya dan suamiku…”

Sebelum saya tterjatuh dari lantai lima gedung itu, sekilas kulihat kepedihan di sepasang matanya yang kelam.


Aku tersungkur di depan pintu kamar itu. Mengingat tragedi pedih yang sempat terlupakan olehku. Pintu di hadapanku terbuka. Nanar kutatap wajah suamiku yang terkejut melihat kehadiranku. Seketika keterkejutan di wajahnya menjelma kepedihan mendalam dikala ia melihat keadaanku.


“Zia, sayang..”

Ia mengangkat dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Tangisku pecah. “Jangan menangis… jangan menangis sayangku… Semuanya baik-baik saja… Kau baik-baik saja…” bisiknya, mencoba meredakan tangisku. Ia membawaku duduk di dingklik di ruang tamu. Diusapnya lembut punggungku, namun tangisku tetap saja mengalir. Dari sudut mata saya melihat Asmira menyeka ujung-ujung matanya yang basah.


Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam pikiranku. Ternyata saya tidak mati. Aku selamat. Padahal lantai lima gedung itu begitu tinggi. Oh Aku seolah gres bangun dari tidur yang teramat panjang. Hanya saja, mimpi jelek itu kini menjadi kenyataan pahit hidupku.


“Apa, apa kamu tahu yang sebetulnya telah terjadi padaku malam itu Aska?” tanyaku terbata-bata menahan isak. Aska masih memelukku erat.

“Ya, tapi kamu tak perlu memikirkan apapun sayang. Sekarang kamu baik-baik saja. Dokter bilang benturan di kepalamu sudah tak berbahaya. Keajaiban ilahi masih menyelamatkanmu.” jelasnya.

“Tapi tapi saya aku telah ternoda Aska. Aku saya ttak bisa menjaga kehormatanku sebagai seorang istri.” tangisku kembali pecah membasahi baju di potongan dadanya.

“Memangnya mengapa?” tanyanya, lembut dilepaskannya saya dari pelukannya. Ditatapnya dalam-dalam kedua mataku. “Itu tidak penting Zia. Semua itu kecelakaan. Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun. Perasaanku masih sama. Tak akan pernah berubah. Apapun yang terjadi.”

Aku menatapnya tak percaya. Kutemukan kesungguhan di sepasang matanya yang teduh. Kembali kubenamkan wajahku di dadanya. Keraguan masih mengayuti perasaanku. Benarkah ia masih menganggapku sama? Apakah tak sedikitpun perasaannya berubah terhadapku.

“Zia, berhenti berpikir yang terburuk. Percayalah padaku. Apa menurutku cintaku hanya sebatas itu? Sudahlah, kamu satu-satunya untukku. Aku mencintaimu hingga kapanpun. Tak perduli apapun yang terjadi, cintaku tetap utuh untukmu.” bisiknya, mengecup puncak kepalaku.

“Terima kasih Aska. Kau begitu baik. Aku sangat mencinttaimu. Amat sangat mencintaimu. Aku saya begitu takut bila kamu meninggalkanku.”

“Tak akan, saya tak akan meninggalkanmu. Kau istriku. Cintaku. Sayangku selamanya. Sekarang ayo kita istirahat. Sudah dini hari.” ajaknya membimbingku menuju ruang tidur.

“Tapi masih banyak yang ingin kutanyakan.” desahku, mengikuti langkahnya menuju ruang tidur.

” Kita bisa bicarakan besok sayang. Sekarang kamu istirahat. Aku ingin kamu hening ketika kita membicarakan hal itu.”


Lembut ia membaringkanku di ranjang, menyelimutiku, kemudian merebahkan diri di samping sambil memelukku.

“Selamat tidur sayangku.” bisiknya, mengecup ringan bibirku.


***


Keesokkan paginya ketika saya terjaga, saya melihat Aska berdiri memunggungiku, kudengar ia tengah sibuk menelepon.


Otakku berputar mengingat tragedi semalam. Betapa banyak pertanyaan yang memenuhi benakku. Nanar kutatap punggung laki-laki yang betapa amat kukasihi ini. Betapa keraguan masih mengisi rongga dadaku. Aku merasa tak lagi pantas untuknya. Ia teramat baik untukku. Namun saya sadar, saya tak akan pernah sanggup bila harus kehilangannya.


Kulihat ia menutup telepon dan berbalik menghadapku. Senyum di wajahnya merekah dikala ia melihat saya telah terjaga.


“Selamat pagi My Sweet Heart.”

Ia menghampiriku dan mengecup lembut bibirku.

“Pagi juga sayang.” balasku tersenyum. Suaraku terdengar parau jawaban terlalu usang menangis semalam. Ia mengambilkanku segelas air di samping ranjang tidur kami. Perhatiannya menciptakan tenggorokanku tercekat. Ia duduk di sampingku, menggenggam lembut sebelah tanganku. Kedua matanya dalam menatap mattaku.


“Kau tak bekerja hari ini?” tanyaku.

“Tidak, saya ingin menghabiskan hari ini bersama istriku.” Matanya berkedip nakal. Aku nyengir lebar melihatnya.

“Aku sudah telepon Ted. Minta ia mengosongkan jadwalku hari ini. Ingat? Aku kan bosnya.” pongahnya, akal-akalan membusungkan dada. Aku tertawa melihat aksinya pagi ini.

“Aku senang sanggup mendengarmu kembali tertawa. Kau terlihat jauh lebih cantik.” ungkapnya sendu, menjumput rambutku yang terurai, kemudian lembut disisipkannya ke balik telingaku.

Aku terdiam mendengar ucapannya.

“Apa, apakah yang sebetulnya terjadi padaku sehabis saya terjatuh malam itu?” tanyaku menerawang.

“Apa kamu tak bisa untuk melupakan saja semua itu sayang? Itu bukanlah hal yang menyenangkan untuk diingat.” pintanya, menatap sendu wajahku.

“Apakah saya tak berhak tahu?” desahku. “Aku tak ingin terus-menerus diganggu oleh aneka macam macam pertanyaan di kepalaku.”

Lama ia terdiam, mempertimbangkan permintaanku. Ia nampak merenung. Sorot matanya terlihat buram. Ia menarik nafas panjang.

“Baiklah. Apa yang ingin kamu ketahui?”

“Segalanya.”

Ia nampak merenung sejenak kemudian mulai bercerita.


“Malam itu saya merasa gelisah menanti kepulanganmu. Sampai jam 11 malam kamu belum juga mengabarkan kapan kamu akan pulang. Aku semakin merasa tak tenang. Akhirnya kuputuskan untuk mendatangi saja kantormu. Aku khawatir terjadi sesuatu yang jelek padamu. Mungkin saya berlebihan. Tapi kamu memang tak pernah pulang selarut itu. Suasana kantormu terlihat sudah begitu sepi. Aku bertemu satpam di pintu gerbang dan menyampaikan ingin menjemputmu. Ia telah cukup mengenalku, karenanya tanpa pikir panjang ia pribadi mengizinkan saya untuk masuk. Setelah memarkirkan kendaraan beroda empat saya berjalan berputar menuju pintu masuk gedung. Ketika saya tengah melangkah, saya mendengar bunyi benda berat jatuh tak jauh di depanku. Alangkah terkejutnya saya ketika kulihat dua sosok tubuh yang tak terpaut jauh terbaring diam. Tanpa sadar saya segera bergegas berlari. Alangkah terperanjattnya saya ketika mendapati sattu dari sosok tubuh itu yakni dirimu. Aku begitu kalut dan ketakutan. Apalagi ketika kulihat darah yang menggenang di bawah kepalamu. Aku bergegas menggendongmu ke dalam mobil. Setelah itu saya berlari menuju pos satpam supaya ia membantuku mengurus tubuh yang lain. Aku segera bergegas membawamu ke rumah sakit. Tak usang kemudian satpam itu tiba dengan ambulans, membawa tubuh yang tak kalah membuatku terperanjat. Adri, sahabat yang dulu begitu dekat denganku. Aku tak sempat berpikir apapun lantaran saya begitu mengkhawatirkan keadaanmu. Ketika kulihat dokter keluar dari dalam UGD, saya segera bergegas menghampirinya. Setelah berbasa-basi menanyakan identitasku, sekali lagi saya dibuatt terperanjat. Ia menyampaikan bila kamu tak hanya jatuh dari gedung, namun kamu juga telah menjadi korban kekerasan seksual. Dikemudian hari saya gres menyadari pakaianmu yang koyak, Aku terlampau mengkhawatirkan keselamatanmu, hingga hal itu luput dari perhatianku. Mendengar pernyataan dokter, saya merasa limbung. Aku pribadi teringat dengan Adri. Berbagai macam dugaan tergambar di kepalaku. Hanya saja semuanya ibarat tak masuk akal. Mengapa kamu dan Adri bisa sama-sama terjatuh dari gedung itu? Untuk sementara dugaan-dugaan itu tersingkir oleh klarifikasi dokter mengenai dirimu. Benturan yang cukup keras di kepala menciptakan keadaanmu cukup gawat. Akhirnya dokter pun memindahkan dirimu ke ruang ICU. Aku tak hentinya berdo’a demi keselamatanmu. Aku begitu takut kamu pergi meninggalkanku. Keesokkan harinya saya mendengar bila nyawa Adri tak bisa diselamatkan. Ia mengalami pendarahan otak yang cukup parah. Berhari-hari hingga berminggu-minggu kamu dalam keadaan koma. Membuat saya semakin frustasi setiap harinya. Sampai tiga ahad kemudian, keajaiban datang. Tuhan mengabulkan do’aku. Kau tersadar dari komamu. Ternyata kamu melupakan beberapa tragedi sebelum kecelakaan itu berlangsung. Dan saya meminta dokter untuk menutupi semuanya darimu. Meski saya merasa tragedi malam itu masih menjadi sebuah misteri, namun saya tak ingin kamu mengingatnya. Aku merasa bila hal itu niscaya akan menyakitkan perasaanmu. Sepulangnya kamu dari rumah sakit, abnormalitas demi abnormalitas sering menimpahmu. Kau jadi sering bermimpi jelek dan menjerit dikala tidur. Kau jadi sering terdiam dan paranoit. Sering menjerit tiba-tiba, ibarat orang ketakutan. Pokoknya kamu jadi semakin aneh. Menjadi sangat pendiam. Dokter bilang itu jawaban dari stress berat yang kamu alami. Meski kamu tak bisa mengingatnya, namun alam bawah sadarmu terus membayangkan tragedi itu. Sekarang sehabis kamu sanggup mengingat semuanya, saya berharap kamu tak lagi dihantui ketakutan. Aku begitu cemas melihatnya.”


Sepanjang Aska bercerita, saya hanya terdiam. Beberapa kali saya terkesiap mendengar ceritanya. Apalagi ketika kudengar bagaimana keadaan Adri. Ternyata ia ikut melompat menyusulku. Aku tak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya. Kurasa opsesinya terhadapku menciptakan ia tak lagi berilmu sehat.


“Bukan Adri yang menjatuhkan saya dari gedung itu Aska.” desahku. ” Aku sendiri yang melompat menjatuhkan diri. Aku takut menghadapi reaksimu bila kamu menemukan keadaanku dikala itu. Aku begittu putus asa. Kurasa, kurasa Adri menyusulku melompat. Sepertinya ia sudah gila. Ia sudah tak waras.” jelasku terbata-bata. Merenung mengingat tragedi malam itu.


“Sudahlah, sudahlah, jangan kamu ingat-ingat lagi. Lupakan saja. Anggap semua itu hanya mimpi buruk. Yang akan lekas berlalu dan terlupakan.” bisiknya, membelai bahuku.


Sejak saya berhasil mengingat semuanya, saya tak lagi dihantui mimpi jelek dan ketakutan-ketakutan yang tak beralasan. Hanya saja terkadang ingatanku membawa kenangan akan Adri. Terkadang saya tak mengerti dengan perasaanku. Ada saat-saat di mana saya merindukannya. Adri dulu pernah menjadi seseorang yang berarti untukku. Pernah ttanpa sadar air mataku jatuh ketika mengingat bagaimana dulu ia begitu baik padaku.


Saat itu saya bisa mencicipi bagaimana sayangnya ia terhadapku. Dulu Adri tak pernah sekalipun menciptakan saya menangis. Ia selalu menjaga dan melindungiku. Jika harus kuakui, kepergiannya menciptakan hatiku terasa sakit. Begitu rumit rasanya sebuah perasaan. Kepergiannya menciptakan saya sadar bila ternyata saya mencintainya. Meski tak sebesar cintaku pada Aska, namun tak bisa kupungkiri bila saya mempunyai cinta untuknya. Maafkan aku, tak bisa mencintaimu ibarat engkau mencintaiku. Mencintai Adri menciptakan saya bisa melepas kebencian yang menyesakkan dadaku akan tragedi malam itu. Kini saya sanggup mengenang Adri dengan cinta, tanpa menciptakan hatiku pedih lantaran stress berat masa lalu. Cinta pernah melukaiku, namun cinta juga yang menyembuhkannya.


17/02/17



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Mimpi Buruk"