Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenangan Dalam Buku Mari Chan: Silver Toe Shoes

Kali ini saya ingin membahas mengenai sebuah komik yang sempat menjadi koleksi saya sewaktu masih duduk di kelas satu SD di tahun 1995 , yaitu sebuah komik Jepang bergenre drama dewasa yang berjudul Mari Chan: Silver Toe Shoes karya Kimiko Uehara. Pada waktu itu, komik Jepang memang sedang hits di kalangan pembaca buku. Di sebuah toko buku besar di Bandung ketika itu komik Jepang dipajang bertumpuk-tumpuk di area yang strategis. sehingga saya yang sering tiba ke toko buku bersama orangtua juga tidak luput dari animo itu.


Sesuai dengan judulnya, serial yang terdiri dari enam buku dengan ilustrasi hitam putih ini bercerita mengenai seorang gadis berjulukan Marika. Orang-orang di sekitarnya biasa memanggilnya Mari. Mari yang semenjak kecil sudah dekat dengan dunia tari balet ini mendapat warisan dari ibunya yang juga seorang balerina berupa sepasang sepatu balet perak.


Kisah ini dimulai ketika pada suatu hari Mari yang gres selesai pentas pada suatu pertunjukan balet dijemput oleh tetangganya. Mari pun cepat-cepat pulang dan menemukan ibunya dalam keadaan sakit parah. Pada menit-menit terakhir sang ibu berpesan biar Mari pergi ke rumah ayahnya di Tokyo. Sang ibu juga memperlihatkan sepasang sepatu balet perak kepada Mari. Mari yang selama ini menganggap bahwa sang ayah sudah meninggal sangat terkejut. Keterkejutan itu lantas bermetamorfosis sedih alasannya ialah tidak usang kemudian sang ibu meninggal.


Sesuai dengan pesan ibunya, Mari kemudian pergi ke Tokyo. Di perjalanan yang ditempuh dengan kereta api ia kemudian bertemu dengan seorang gadis sebayanya berjulukan Anita. Mari tidak menyadari bahwa perjumpaannya dengan Anita merupakan awal dari sebuah kisah panjang yang akan mengungkap sebuah diam-diam besar yang melibatkan tidak hanya mereka berdua, tetapi juga keluarga mereka dan juga seorang gadis berjulukan Monika.


Kisah ini melibatkan banyak tokoh, di antaranya ialah Nathan dan Pak Roger yang selama ini dikenal sebagai abang dan ayah Mari. Kemudian ada juga Monika, gadis sombong yang ternyata ialah anak kandung Pak Roger. Juga ada Brian dan Dessy, orangtua kandung Mari dan Anita. Ada juga Henry dan Cecilia yang kehadirannya di dalam kisah ini cukup penting. Kisah ini cukup panjang dengan alur maju yang diselingi oleh beberapa flashback.


Saya yang ketika itu masih berusia enam tahun tertarik dengan buku ini alasannya ialah gambar-gambarnya yang menarik. Aneka kostum tari balet digambarkan dengan indah, begitu pula dengan tokoh-tokohnya yang digambarkan dengan bagus. Adegan demi adegan juga digambarkan dengan cukup ekspresif sesuai dengan emosi yang dirasakan masing-masing tokoh sehingga terasa hidup.


Tidak jarang gambar yang ditampilkan terlihat lucu sehingga bisa mengocok perut para pembaca, khususnya saya. Misalnya gambar lisan yang terbuka lebar sampai ke dagu untuk mengekspresikan tokoh yang sedang berteriak, kepala yang diberi gambar tanda tanya atau tetesan air, mata yang lingkaran atau berbentuk hati, dan sebagainya.


Di samping itu, buku tersebut juga memperkenalkan budaya Jepang pada saya, menyerupai beberapa jenis masakan khas Jepang dan kisah rakyat Putri Kaguya yang diceritakan lahir dari dalam bambu. Bahkan, di buku terakhir serial ini dongeng Putri Kaguya juga diangkat dalam suatu pertunjukan balet.


Namun, ada sesuatu yang terasa agak janggal. Jika saya pikirkan kini gambar-gambar tokoh di komik itu lebih menyerupai orang Eropa daripada orang Jepang, padahal setting ceritanya ialah di Jepang, kecuali di dua buku terakhir yang bersetting di Paris. Jarang sekali saya temukan ada tokoh yang bermata sipit khas orang Jepang. Para tokoh di komik ini rata-rata mempunyai mata yang lebar.


Soal rambut, juga tidak semua tokoh mempunyai rambut berwarna hitam. Memang, seingat saya tidak disebutkan bahwa tokoh-tokohnya ialah orang Jepang orisinil sehingga hal itu tidak menjadi masalah.


Di luar itu saya cukup suka dengan komik ini. Alur kisah yang mengandung banyak kejutan didukung oleh visualisasi yang menarik. Hingga kini pun alur kisah dan gambar-gambar di komik tersebut masih lekat di ingatan saya. Hal yang merupakan pesan dari kisah ini ialah bahwa untuk menggapai impian diharapkan usaha keras yang dibarengi tekad baja dan ketabahan. Hal ini terlihat dari tokoh Mari yang mengalami banyak sekali macam kepahitan dalam kehidupannya, menyerupai ketika ibunya meninggal, persaingan di sekolah, shock yang mendera ketika kenyataan mengenai jati dirinya tersingkap, dan masih banyak lagi. Kendati demikian ia tidak kehilangan semangat dan keberanian untuk mengejar cita-citanya menjadi balerina terkenal.


Selain itu juga banyak pesan-pesan lain yang disimbolkan dengan kehidupan masing-masing tokoh. Di antaranya tokoh Dessy, yang kehidupannya menyiratkan pesan bahwa menjadi populer dan sukses dalam karir bukan segalanya. Dessy yang merupakan seorang balerina populer juga mengalami pasang surut dalam kehidupannya. Ia harus menelan pil pahit ketika mendapati kenyataan bahwa anak yang dibesarkannya selama ini bukanlah anak kandungnya. Kenyataan itu membuatnya harus melepaskan anaknya yang ternyata tertukar ketika gres lahir. Rumah tangganya pun berantakan.


Sebagai komik remaja, kisah Mari Chan ini juga diwarnai dengan kisah persahabatan dan cinta. Banyak pula ditemukan dilema antara kasih sayang antar saudara dan romansa. Mari dan Anita yang belakangan terungkap sebagai saudara kandung terlibat cinta segitiga dengan cowok yang selama ini dikenal sebagai abang Mari, yaitu Nathan. Hubungan persaudaraan mereka pun menjadi terombang-ambing. Ada juga kerelaan untuk berkorban menyerupai perilaku yang ditunjukkan oleh Anita ketika mengetahui bahwa Nathan mempunyai perasaan yang sama dengan Mari. Demikian juga dengan Henry yang sudah menaruh hati pada Mari semenjak bersekolah di Royal Ballet School.


Dari buku ini pula saya berguru menggambar dengan menjiplak ilustrasi buku ini. . Saya yang ketika itu masih berusia enam tahun juga mendapat pengalaman baru, juga pemahaman mengenai banyak sekali huruf insan melalui para tokohnya. Kendati kisah ini fiktif, namun cukup mewakili realitas di dunia nyata. Dialog-dialog dan narasi singkat di dalam buku ini juga menambah perbendaharaan kata saya yang ketika itu masih terbatas.


Singkatnya, kisah ini cukup menghibur dan memperlihatkan wangsit mengenai arti pengorbanan, perjuangan, dan lain sebagainya. Saya akui, kisah Mari Chan ini memperlihatkan efek bagi perkembangan psikologis alasannya ialah buku ini menyertai masa-masa awal pertumbuhan saya. Salah satu misalnya ialah ketika itu saya berkhayal menjadi seorang penari balet menyerupai tokoh-tokoh dalam buku ini.


Secara keseluruhan kisah ini cukup memikat, kendati pun terus jelas saja ini bukanlah genre favorit saya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kisah ini telah turut mengukir kenangan akan masa kecil saya yang manis dan tak terlupakan.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kenangan Dalam Buku Mari Chan: Silver Toe Shoes"