Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berdamai Dengan Sakit Dan Kecewa

Tetesan itu beriak. Rintik itu berderai. Riak dan derai bercumbu jadi satu, melebur dan menciptakan kesadaranku hadir sesudah entah berapa jam saya bergumal

dengan mimpi.


Aku menggeliat. Pelan dan Nampak enggan, begitu gerakan yang Nampak ketika kucoba membuka mata. Boneka lumba-lumba yang bagus bertengger di atas meja,

itulah yang kulihat pertama. Namun, warnanya tak Nampak biru. Berkabut dan buram, ah lumba-lumbaku tak terperinci tertangkap mata.


‘I hate you, I love you…I hate you that I want you…’


Ada yang berteriak di telingaku. Tak begitu kencang memang, namun cukup membut pandanganku beralih. Sebuah ponsel layar sentuh berwarna putih, disitulah

teriakan itu berasal. Lagu kesukaanku itu rupanya lupa kumatikan dari pponselku. Biarkan, kataku lewat gerak tubuh yang tak sedikitpun meraba ponsel itu.


Aku lantas melongok ke jendela. Masih hujan disana padahal langit sudah gelap. Aku pun penasaran, kira-kira waker babiku menandakan angka berapa ketika ini.

20:35, begitulah angka yang kulihat dari tubuh si robot babi berwarna pink. Masih sore, gumamku.


Di sampingk’u kulihat ada cowok dengan usia di atasku sedang asyik terlelap dengan t-shirt biru yang melekat di tubuhnya. Aku menghela nafas panjang. Ada

yang menyeruak dari wajah oval itu. Bola matanya memang terpejam, namun dari balik situ, saya seolah melihat masa-masa yang pernah ada dimana saya tertawa

juga menangis. Aku mengenal cowok ini, bahkan sangat mengenalnya.


Kuamati setiap helaan nafasnya. Aku seolah bisa mencicipi helaan nafas itu. Helaan nafas itu seolah menjadi pesan yang tersirat yang kerap ia gumamkan kala saya hilang

arah. Tuhan, sungguh apa maksud semua ini?


Dari kejauhan petir tiba-tiba menggelegar. Aku terperanjat oleh kilat yang merangsek menghuni ruangan seiring dengan lampu yang padam. Gelap, pekat, dan

wajah oval tadi pun menghilang dari pandangan. Di detik itulah saya tersadar bahwa perasaanku sedang terombang-ambing di langit lepas bagai layang-layang

putus.


Gelap dan pekat masih menghuni, namun secercah sinar rupanya menyeruak dari ponsel yang masih melantunkan ‘I hate you, I love you’ itu. Dengan sinar seadanya,

saya coba meraih-raih meja belajarku yang kutahu ada boneka lumba-lumba biruku disana. Namun bukan itu tujuanku. Sebuah benda berbentuk tabung dengan sebuah

tombol di salah satu sisinya, itulah yang kutuju. Dengan sekali sentak kutekan tombolnya dan kerlap-kerlip bulan dan bintang seketika saja mengisi kamarku.

Indah, gumamku sambil memandangi kerlip bintang yang menari di atap juga dinding kamarku. Aku merasa terbang melesat ke negeri dimana rasa sakit dan kecewa

tak pernah diciptakan.


Kerlip bulan dan bintang di kamarku kemudian menarikku kembali ke kenyataan. Negeri tanpa rasa sakit dan kecewa rupanya memang tak pernah ada. Lantas kucoba

mencicipi keberadaanku pada sosok cowok yang masih terlelap dengan helaan nafas yang begitu tenang. Dengan perlahan kusentuhkan jemariku pada jemari sosok

itu. Ada yang berdesir di hatiku tanpa kutahu bagus atau pahitkah rasa itu.


Tetesan hujan masih beriak. Masih kuamati sosok cowok itu seraya merabba rasa apa yang bergotong-royong mengisi relung hatiku. Dan ternyata, semakin usang kurasakan,

semakin terperinci rasa yang berdesir ini. Sakit, perih dan penuh ketakberhargaan, itulah yang mulai kurasakan. Masa kemudian itu melucutiku. Masa kemudian itu menamparku.

Masa kemudian itu seolah berkata, “Kau tak lagi berharga baginya”


“Sakit, Sat, sakit. Hentikan, Sat…”


Ada yang berteriak mengiba dan menahan sakit. Suara itu tiba dari masa lalu. Jeritan dan rintihan itu lepas dari dimensi kemudian dan menyeruak di dimensi

yang lebih baru. Aku mengenal bunyi itu. Aku masih mencicipi betul sakit itu. Aku masih tahu betul bagaimana perih tubuh serta hatiku oleh sosok itu.


“Bangsat kamu ya! Kau mau menghancurkan masa depanku hah?!?”


Sekarang sosok itu yang bersuara. Ia menghardik. Ia terus menghardik. Ia menendang. Ia terus menendang. Jelas dan nyata, kenangan masa kemudian itu kini terputar

di benakku.


“Kenapa kamu tak pergi saja dari hidupku?!?! Jangan hantui lagi aku!! Bukankah hubungan kita sudah berakhir?!?”


Suara teriakan itu masih tajam menghujam jantungku. Benar-benar terasa meski insiden itu sudah usang tertinggal di belakang. Rupanya saya tak cukup pintar

menciptakan kenangan pahit itu binasa oleh maafku padanya.


“Kenapa kamu tega, Sat? Bukankah hubungan kita baik-baik saja selama ini? Kenapa tiba-tiba kamu menentukan wanita lain?”


Ada bunyi lain yang menyeruak. Suara itu suaraku yang tiba dari masa lalu. Kata-kata itu kulemparkan seraya merangkak, berupaya meraih kakinya. Sosokku

kerdil dengan linangan air mata. Aku masih ingat betul bagaimana kedaluwarsa anyir darah yang mulai mengalir di lututku. Sungguh sakit yang teramat itu masih membekas

hingga detik ini.


“Pergi sana! Minggat dari kehidupanku! Masa depanku sudah hancur gara-gara kau!”


Sosok itu masih menghardik di masa lalu. Aku ketika itu dan saya di detik ini masih mencicipi aktual hardikannya. Lebih dari hardikan sebetulnya. Ketidakberhargaan,

itulah yang bergotong-royong saya dapatkan.


“Kenapa, Sat? Kenapa? Apa salahku?”


Aku terus mengiba dan mengais Tanya pada sosok itu. Tanganku masih memeluk erat kakinya. Ia menjulang tinggi di atasku. Nafasnya memburu. Emosi rupanya

melesat naik ke posisi tertinggi. Sungguh saya bisa mencicipi kemarahannya. Sungguh saya tahu betapa ingin ia membunuhku. Dan perlahan perkiraanku mulai

nyata. Terlihat aktual amarah itu ketika kakinya yang berpengaruh menghempaskanku.


“Satya…” saya menjerit kesakitan.


“Satya…” saya kembali menjerit dengan siku yang mulai menghujam lantai. Aku dihempaskan olehnya ke dasar lubang ketakberhargaan. Ia menendangku sekali lagi

sempurna di dadaku. Lewat hantaman kakinya di dadaku seakan saya bisa mendengar bunyi hatinya berkata, “Sampah! Kau Cuma sampah yang terus menghantui hidupku!”


“Pergi kini juga! Jangan kamu ganggu lagi hidupku!”


bentak sosok itu masih di dimensi lalu. Tubuhku bergerak seiring dengan kata-kata itu. Rupanya ia menyeretku. Ia menyeretku tanpa ampun. Sumpah serapah

masih meluncur keras dari mulutnya. Ia tak peduli dengan luka di lututku yang mulai menyemburkan darah dengan deras. Kesakitan di tubuhku sama sekali tak

ia hiraukan, lebih-lebih dengan sakit di hatiku. Ia tak coba lihat linangan air mataku. Ia terus menyeretku. Ia kesetanan. Yang ia pikirkan hanya mengeluarkanku

dari kawasan itu dan menendangku jauh-jauh dari hidupnya. Ia tak coba dengar jeritanku. Ia tak coba dengar tangisanku. Ia tak coba dengar rintihanku. Ia

kehilangan nalar sehatnya.


“Ampun, Sat. Ampun…” ibaku masih dengan perih di tubuh dan hatiku.


“Sakit, Sat…sakit…” ucapku berusaha lebih keras.


“Suruh siapa kamu cari mati hah?!?”


Aku tercekit. Ia tak mau peduli lagi. Fisikku saja ia berani hancurkan, bagaimana lagi dengan hatiku?


“Brengsek! Masa depanku hancur!” ia berteriak dengan sangat keras seraya menarik tanganku dan menghempaskan tubuhku yang sedari tadi ia seret. Aku terhempas

di depan pintu. Aku merasa kerdil. Aku merasa ketakberhargaan itu mutlak milikku.


“Sialan!”


Ia mengeluarkan sumpah serapahnya lagi. Terus menghujam tanpa henti, semakin merobek harga diri serta pertahananku jikalau semakin usang semakin coba kurasakan

tiap kata yang ia ucapkan. Aku tak tahu lagi harus berucap apa. Bola mataku penuh dengan air. Dadaku terasa sakit luar dan dalam. Lidahku kelu meski hanya

tuk sekedar mengucapkan, “Hentikan kesakitan ini”. Aku terisak dengan kebingungan yang teramat sangat.


Petir menggelegar. Aku terperanjat dan seketika nyawaku kembali ke dimensi sekarang. Tanpa kusadari air mataku sudah meleleh. Kurasa kenangan-kenangan

pahit masa kemudian antara saya dan sosok yang tengah terlelap di sampingku menciptakan bulir-bulir bening itu jatuh.


Aku menyeka air mataku. Kuamati wajah cowok itu. Kelibatan-kelibatan kerlip bulan bintang bergantian menerpa wajahnya. Indah, benar-benar pesona duniawi

yang begitu indah. Jemariku masih bertaut dengan jemarinya, tapi kurasakan Kristal-kristal es bagai stalaktit menghuni tiap ujung jariku. Dingin dan tajam,

itulah yang kurasakan. Tak ada lagi kehangatan yang kupersembahkan untuk sosok ini.


“Apa salahku?” saya berucap lirih seraya memandang wajah lelap itu. Suaraku parau dan senada dengan apa yang pernah kuucapkan di dimensi lalu. Dan akhirnya

air mataku kembali jatuh.


Petir kembali menyambar. Kerasnya bunyi petir seolah bisa menggetarkan tembok-tembok kamar yang sedang kuhuni. Beriringan dengan kilat yang berkelebat,

tangisku mulai pecah. Aku tergugu. Aku kembali merasa hancur. Aku kembali mengingat masa-masa sulit itu. Aku kembali membenci sosok di sampingku.


Dadaku tersengal menahan tangis. Tanah di luar sana Nampak tak sebasah wajahku. Gigiku berpengaruh menggigit bibir bawahku. Sekuat tenaga kuhilangkan bunyi tangisku.

Tak ingin terlihat. Tak ingin Nampak. Aku tak ingin kerdil untuk kesekian kalinya di hadapannya. Aku berpengaruh meski kekecewaan dan rasa sakit di masa lalu

berpengaruh menerjang upayaku untuk bertahan.


Aku kembali ke masa lalu. Kusaksikan diriku di masa itu tengah tersudut di ruang kosong. Penuh kekecewaan, penuh amarah, tapi pengecap kelu berucap. Aku tak

punya daya Nampak terlihat terperinci diriku di masa itu. Aku mencoba menyatu dengan masa laluku.


“Apa salahku…”


Kataku di masa lalu. Selalu dan berulang, kata itu tak pernah luput kuucapkan. Lebih-lebih ketika kusaksikan gadis lain justru ia gamit dan peluk. Rasa

kecewa mengaliri darahku ketika dengan aktual gadis itu justru ia pilih. Amarah aktual kurasakan ketika kisah yang telah terbingkai semenjak kemudian justru coba

tuk dihancurkan, coba tuk dibinasakan, bahkan saya tertuduh mendamba ia yang telah menjadi milik gadis lain. Aku tertuduh. Aku tertuduh. Aku tertuduh sebagai

hamba yang haus akan liak-liuk pesona duniawi. Aku tertuduh sebagai penyair bersajak roman yang haus syairnya jadi nyata. Aku dianggap pembual. Di depan

gadis lain ia membunuh kisah yang telah kami buat. Aku tak lebih dari pembual atas sosoknya yang tengah mereguk bagus bersama gadis lain. Aku terhempas.

Aku kering dan meranggas hari demi hari. Dan saya kembali mengais Tanya, “Apa salahku?”


Masih di masa lalu. Sosok itu berujar, “Aku telah bersamanya. Jangan ganggu kalau kamu tak ingin mati. Dan untuk apa kamu mengaku pernah menjalin asmara

denganku?”


Ketakberdayaan tiba lagi. Kekecewaan merambati diriku lagi. Aku kembali dianggap sebagai pembual. Aku tak ingin diam, tapi apa dayaku?


“Aku kekasihmu, Sat. Aku kekasihmu…” kataku lemah.


“Apa? Kekasihku? Jangan bermimpi di siang bolong. Kalau kamu pernah jadi kekasihku, katakan padaku tanggal dimana kita mengabadikannya!”


Ia mengelak. Aku tersudut. Katanya seolah benar. Aku mulai memudar. Aku memang tak pernah memilikinya lantaran kami tak pernah mengabadikan perasaan kami

layaknya pasangan lain. Aku semakin pudar dan tak punya kuasa akan semua itu. Sosok itu memang bukan milikku. Aku memang pembual. Tapi saya teringat ucapannya

wacana perasaan yang tak perlu diikat oleh ttanggal dan tempat.


“Satya, bukankah kamu bilang saya akan selalu menjadi kekasihmu tanpa perlu kawasan dan waktu?” kataku meyakinkan.


“Hah? Kapan kukatakan hal ndeso semacam itu?” ia tetap mengelak.


Benar. Aku memang tak berharga. Coba lihat gadis yang telah ia pilih. Gadis itu ia perlakukan istimewa. Gadis itu ia puji sedemikian rupa. Gadis itu ia

pamerkan ke setiap penghuni dunia. Gadis itu dengan mantap ia minta tuk jadi ibu bagi belum dewasa sosok itu kelak. Gadis itu bisa menciptakan hidupnya berwarna.

Gadis itu tak harus mencicipi menjadi kekasih yang tak dianggap, tak sepertiku yang telah bertahun harus menyembunyikan jati diri. Sosok itu tak pernah

merasa gembira menyerupai ketika ia mempunyai gadis itu. Gadis itu tak pernah mencicipi ketakberhargaan yang cowok itu hadiahkan. Sedangkan diriku?


Tirai melambai di jendela. Renda-rendanya terbang tertiup angin yang tiba bersamaan dengan hujan. Tirai itu tersibak dan menampakan kelam dan basahnya

pemandangan di luar. Dan aku…aku tersibak kembali ke kenyataan…terduduk kembali di samping cowok yang masihh lelap dengan nafas yang begitu tenang.


Kupandangi wajah cowok itu yang masih dihiasi kerlip cahaya bulan dan bintang yang tercipta dari lampu di atas meja belajarku. Air mataku masih mengalir.

Dengan mata nanarku kucoba menangkap kebencian yang pernah ia tunjukan di masa lalu. Dari bibir merah tipisnya kucoba mendengar sumpah serapah yang dulu

pernah terucap. Dari kedua matanya yang tertutup kucoba menangkap sorot mata penuh rasa jijik yang pernah dihadiahkan padaku di masa lalu. Tapi…tapi…wajah

sosok yang sangat kukasihi yang justru Nampak.


Aku semakin terisak. Dadaku tersengal-sengal. Aku tergugu. Dari bibirku yang terkatup, seberkas bunyi serasa ingin lari keluar dan memantul di ruangan.

Tapi sekuat tenaga kutahan. Tak ingin kubiarkan ia terbangun dan mendengar tangisku. Aku telah mengubur semua perih itu. Aku telah membinasakan semenjak dulu,

menyerupai yang pernah kukatakan dulu. Aku telah menghapus rasa kecewaku bersamaan dengan maaf yang dulu kuberikan kepadanya. Senyumku telah merobek-robek

rasa sakit yang pernah ia ciptakan bersamaan dengan maaf yang ia pintakan kepadaku.


Sakit dan kecewa di masa kemudian rupanya tak bisa membuatku tenang dan berdamai dengan keadaan. Rasa sakit dan kecewa mengikutiku hingga detik ini. Aku tak

bisa menahannya ternyata. Aku kembali terisak. Air mataku jatuh sederas air hujan. Kini saya nyaris menangis kencang. Tak ingin, saya tak ingin tangisku

terdengar. Akhirnya kututup mulutku dengan telapak tangan. Aku menangis dengan bunyi tertahan. Dan ternyata ia mendengarku…


“Kau kenapa, sayang?” ia berucap dengan tubuh yang sudah sejajar denganku. Ia sempurna berada di depanku meski wajahnya bersembunyi di balik pekat. Kerlip

bulan dan bintang rupanya tak bisa menciptakan wajahnya terang.


Aku masih terisak. Telapak tanganku masih kugunakan untuk menutup mulutku. Aku tak ingin ia mendengar tangisku. Yang bisa kulakukan hanyalah menggelengkan

kepalaku meski kutahu itu sia-sia. Ia tak mungkin bisa melihat gelengan kepalaku.


“Kau kenapa? Mimpi buruk?” ia kembali bertanya dengan bunyi lembut. Tangannya mulai memegang bahuku.


“Kau tak usah takut. Aku ada disini bersamamu, sayang…”


Kata-kata itu benar-benar lembut. Kata-kata itu sama sekali tak seirama dengan sumpah serapah yang pernah ia lontarkan. Tangan itu lembut membelai rambutku

dan tak sejalan dengan pukulan yang pernah ia daratkan di tubuhku.


“Tak akan ada satu orang pun yang bisa membuatmu menangis dan terluka. Aku kesepakatan itu…”


Ia kembali membelai rambutku seiring dengan kata-kata yang ia lontarkan. Halus dan lembut belaian rambutnya. Semakin usang semakin erat pelukan itu di tubuhku.

Aku masih terisak. Berjuta rasa berkecamuk. Berjuta Tanya bergejolak. Aku seolah tak bisa membedakan antara benci dan cinta…antara ia yang dahulu dan

perangainya yang sekarang…


Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Aku tahu ia faham akan tangisku, tapi setidaknya saya yakin bahwa ia tak tahu bantalan an di balik tangisku. Akan tetap kusembunyikan

alasanku. Aku telah memberinya maaf meski kesakitan dan kekecewaan terus menghantuiku dari masa lalu.


“Sayang…” ia mulai melepaskan pelukannya.


“Kau sayang padaku kan?” ia bertanya dengan begitu dalam seraya memegang kedua bahuku. Aku masih terisak. Pekat pun masih menguasai kami mala mini. Air

mataku masih mengalir.


“Sayang, kamu akan tetap bersamaku hingga janjkematian memisahkan kita kan? Jangan pergi dariku, sayang…”


Seiring dengan pertanyaan yang menyeruak dari bibir tipis cowok itu, lampu di dalam ruangan pun menyala. Kerlip bulan dbintang tak lagi Nampak alasannya ialah terkalahkan

oleh cahaya terang lampu kamar. Hujan di luar hanya menyisakan tetesan. Dan seketika diriku pribadi menghambur ke pelukannya. Aku menangis. Aku mengeluarkan

tangisku. Aku menangis. Aku tak lagi menahan air mata dan suaraku. Ini kubiarkan suaraku terdengar ke seluruh penjuru alam. Aku tak takut lagi dengan masa

lalu. Aku tak takut lagi dengan dendam yang terus tumbuh. Aku tak takut lagi dengan ketakberhargaan yang pernah melekat pada diriku. Aku tahu ketakberhargaan

ada lantaran saya larut pada ketakberhargaan itu. Aku tak peduli dengan keangkuhanku yang mulai berkembang menjadi menjadi ratu dalam diri. Aku ialah aku. Aku adalah

sosok yang memilihnya. Aku ialah sosok yang dahulu pernah mencintainya, pernah mengiba meski tendangan dan rasa sakit mengiringi, dan pernah menjadi kerdil

lantaran ketakberhargaan yang selalu didengungkan. Dan sekarang, di dimensi yang lebih baru, saya tetap mencintainya, tetap berada di sampingnya, tetap menerimanya

meski dahulu ia menyuruhku enyah, dan saya akan tetap menuntunnya kemanapun ia ingin melangkah.


“Apakah tangismu lantaran mimpi buruk, sayang?” ia kembali bertanya dan saya menjawabnya dengan anggukan.


Perlahan kulepaskan pelukanku. Perlahan kubangkit dan beranjak ke luar kamar. Sesaat kemudian saya kembali mengisi ruangan dengan membawa sesuatu bersamaku.


Aku melangkah mendekati sosok itu. Ia masih duduk di atas kawasan tidur. Perlahan kuusap rambutnya dan kuraba leher jenjangnya dengan tangan kananku. Dan

di sudut lain, tangan kiriku kuselipkan di bawah kaki panjangnya. Sempat melintas di benakku kenangan masa lalu. Sekelibat saya teringat ketika kaki yang

tengah kupegang ini pernah menendangku dengan berpengaruh dan tanpa ampun di masa lalu. Aku pernah mencicipi sakit yang diciptakan oleh kaki ini. Tapi sudahlah,

sudahlah. Aku telah memilih. Lantas dalam hitungan ketiga, tubuh jangkung itu kuangkat dengan sekuat tenagaku. Ia terdiam, seolah act berdoa untuk kekuatanku.

Tangannya melingkar di leherku. Dan sekarang, ia telah menghuni sebuah bangku roda yang telah usang menjadi tempatnya menjelajah hari demi hari.


“Hendak mengajakku kemana, sayang?” ia bertanya kepadaku, tapi saya hanya terdiam.


Kudorong bangku roda itu kea rah kebun di belakang rumah. Kubiarkan ia mencicipi udara masbodoh yang disisakan oleh hujan. Kubiarkan telinganya menangkap

denting yang bertalu di atas genting. Kubiarkan ia mencicipi apa yang ingin coba kusampaikan.


“Coba ceritakan padaku wacana mimpi burukmu…” katanya seraya menghadp ke arahku.


“Tak ada mimpi buruk…” kataku dengan bunyi parau.


“Lantas mengapa kamu menangis? Apakah saya menyakitimu dalam mimpi?” tanyanya lagi.


“Tidak, Satya…” jawabku singkat.


“Lantas?” ia masih bersikukuh.


Aku terdiam. Aku mencoba berdamai dengan kesakitanku di masa lalu. Aku mencoba meyakinkan hatiku sekali lagi wacana diriku yang tak lagi mengingat sakit

yang pernah ia tanamkan. Sekali lagi ingin kuyakinkan semesta bahwa saya memilihnya. Sekali lagi kukatakan pada diriku bahwa ia telah berubah, bahwa ia

telah meratapi segalanya, bahwa ia telah kembali padaku. Dia memilihku dan saya memilihnya, tapi memilihnya bukan lantaran ia tak bisa lagi berjalan, bahwa

ia tak bisa lagi melihat, tapi lebih dari itu, lebih dari sekedar fisik dan kenangan masa lalu. Aku menyayanginya dan saya memilihnya….


“Yang membuatku menangis adalah…” saya mulai brucap.


“Aku takut kehilanganmu…” kataku seraya memeluknya. Ia melaksanakan hal yang sama kepadaku. Dan kulihat tetesan air mata menalir di pipinya.


Aku tak menyesal mengasihi seseorang yang telah menyakitiku sedemikian rupa. Aku tak peduli orang lain menyampaikan saya bodoh. Aku tak memusingkan sosok lain yang lebih indah darinya. Aku ialah aku. Aku ialah sosok yang tak pernah memudarkan rasa sayangku padanya. Ketika cinta memilih, disitulah bahagia

dan ketulusan akan kurasakan. Ketika saya menentukan untuk berdamai dengan sakit dan kecewa, maka disitulah saya bahagia.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Berdamai Dengan Sakit Dan Kecewa"