The Miserable Perfection
Sudah selama kurang lebih tiga jam gadis berambut kecokelatan senada warna mahoni itu berusaha memfokuskan konsentrasinya pada acara yang tengah dilakukannya. Menyapukan kuas di atas kanfas. Sudah semenjak tadi dirinya berusaha untuk melupakan kekesalannya, namun usahanya itu belum kunjung berhasil. Well, meskipun begitu tampaknya usahanya itu membuahkan hasil. Sebuah lukisan dengan komposisi bentuk dan warna yang nyaris mendekati tepat terpampang di depannya. Sesaat gadis itu tersenyum lebar. Tinggal sedikit sentuhan lagi, maka lukisannya itu akan layak untuk dibanggakan. Ya, paling tidak untuk dirinya sendiri. Dia gres saja akan menyapukan warna terakhir pada kanfasnya ketika ponselnya berdering di meja seberang. Rachel Adelina mengerutkan kening sejenak sebelum beranjak untuk meraih ponselnya yang masih terus berdering. Well, setidaknya bencana ini membuatnya berpikir dua kali untuk menyetel ponselnya dalam mode normal dengan dering.
“Halo?” Untuk pertama kalinya di tiga jam terakhir ia mengeluarkan suara. Setelah pencariannya terhadap seseorang di kampus tadi siang tidak berhasil, mood-nya menurun drastis sehingga membuatnya memutuskan untuk segera kembali ke apartemen pribadinya tanpa memperlihatkan kabar terlebih dahulu. Dirinya sudah terlanjur malas untuk sekedar mengeluarkan bunyi untuk mempertanyakan lebih lanjut perihal apapun yang berafiliasi dengan orang tersebut. Oleh alasannya ialah moodnya yang menurun drastis di hari itu, dalam tiga jam terakhir ia memutuskan untuk membisu dan mencoba mengalihkan kegiatannya untuk melukis. Setidaknya ia tahu bahwa hal itu tidak akan mungkin memperburuk keadaannya.
“Aku?” Gadis itu mendengus samar. “Harusnya saya yang bertanya padamu. Ke mana saja kau, Digo Alvindra?”
Terdengar tawa dingin yang meluncur dari bibirnya beberapa detik setelahnya. Rachel bisa menebak bahwa kali ini suaranya akan sedikit bergetar. Well, meskipun begitu dirinya yakin insan yang berada di seberang sana tidak akan mungkin menyadarinya. “Jangan salahkan saya jikalau saya meninggalkan kampus tanpa mengirim pesan terlebih dahulu padamu. Kupikir kamu sedang sibuk.” Dia mencibir. “Kau tahu, tidak untuk kali ini saja kamu berbuat menyerupai itu padaku. Perlu kamu ingat Alvindra, saya bukan boneka.” Setelah memberikan kalimat itu, jarinya menekan tombol untuk mengakhiri telepon. Tentu saja secara sepihak, alasannya ialah pada dikala itu seseorang di seberang sana bermaksud untuk memberikan kata maaf namun gadis berusia dua puluh tahunan itu sudah terlalu jengah.
Rachel bangkit, sejenak memperhatikan wajahnya melalui beling cermin yang terpeta di dinding apartemennya. Penampilannya sungguh tidak sanggup dikatakan baik-baik saja. Kondisinya terlihat lemah. Wajahnya pucat. Namun dirinya tidak menggubris hal itu. Dia mengangkat alis ketika menangkap ada buliran bening yang menggantung di pelupuk matanya. Apakah ia akan menangis? Hell, ia tidak akan menangis. Dia tahu persis hal itu. Selama ini dirinya sudah sering mendapatkan perlakuan yang serupa, bahkan lebih jelek dari sekedar mengingkari kesepakatan untuk pulang bersama. Akan tetapi selama ini ia selalu sanggup menerimanya dengan senyum. Bahkan tak jarang ia merasa senang. Rachel selalu menyugesti dirinya, bahwa selama lelaki yang dicintainya itu berada bersamanya, sanggup tersenyum bersamanya, itu bukan problem baginya. Yang terpenting ialah melihat Digo senang ketika bersamanya, sesederhana itu. Tetapi entah, kali ini dirinya tidak terlalu yakin akan hal itu.
Beberapa dikala kemudian Rachel memutar tubuhnya, melangkah gontai kembali mendekati posisi kanfasnya berada. “Memang ia tidak pernah sekalipun mengerti perasaanku!” serunya frustasi. Ada emosi yang terselip di dalam nada suaranya. Suaranya bergema sampai ke seluruh sudut ruangan apartemen yang tidak terlampau luas itu. Dan tepat dikala itu, ada bab dari hatinya yang terasa nyeri. Mengapa rasanya sesesak ini? Bukankah dirinya sudah sering mengalami hal ini? Bahkan hal yang gres saja terjadi ialah merupakan bencana sepele jikalau dibandingkan dengan kejadian-kejadian yang pernah ia alami sebelumnya. Dan sudah semenjak awal dirinya berkomitmen, bahwa ia akan mendapatkan apapun konsekuensinya, termasuk hal yang paling jelek sekalipun.
Gadis yang mempunyai sepasang iris cokelat keabuan itu menarik dingklik kayu yang tadi digunakannya untuk duduk sembari menuntaskan lukisannya. Matanya memandangi objek yang menjadi lukisannya dengan tatapan hampa. Perlahan, tanpa disadarinya, setetes cairan bening jatuh ke pipinya. Dia membulatkan matanya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada hatinya? Mengapa rasanya begitu sakit? Bukankah ia sudah bisa mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan itu dari sosok yang tengah tersenyum dalam lukisannya itu selama ini? Tetapi mengapa dirinya justru terlihat kurang akil sekarang? Tidak. Dia dihentikan lemah. Seolah lukisannya sanggup mengetahui keadaannya, ia mulai mengulas sebuah senyum, menarik bibirnya ke dalam sebuah lengkungan naik, namun tentu saja, bukan sebagai senyuman yang penuh dengan kenaturalan.
Rachel harus jujur. Harus ia akui. Sekuat-kuatnya dirinya bertahan, risikonya hari ini, pada detik ini, fatwa bening telah lolos dari sepasang iris cokelat keabuannya, menerobos pertahanannya. Dia menangis. Sungguh, ini sangat menyakitinya. Sekeras apapun dirinya mencoba untuk tidak terlihat menyerupai gadis yang lemah, toh dirinya masih sanggup menangis. Ini sangat memalukan, batinnya. Dengan garang ia mengusap air mata yang telah meleleh di pipinya dengan punggung tangannya.
Kemudian ia beranjak, berdiri terpaku di hadapan lukisan yang gres saja dibuatnya dengan susah payah. Dia memandangi lukisan itu dengan sorot luka yang teramat nyata. Sebentuk siluet seorang laki-laki dengan garis wajah tegas, dengan sepasang iris sekelam malam yang mempesona, tajam namun menyiratkan kehangatan yang selalu dirindukannya selama ini. Namun Rachel menyadari, sebentuk senyum yang terukir pada bibir maskulin laki-laki dalam lukisan itu hanya fatamorgana baginya. Sama menyerupai sorot hangat yang terpancar,. Palsu. Semua itu hanya merupakan impian kecil dari seorang Rachel perihal lelaki yang dicintainya. Sampai kapankah Rachel bisa bertahan? Entahlah. Pertanyaan itu pula yang kini dengan setia membayangi pikiran gadis itu.
Pada kenyataannya, apa yang diterimanya tidak seindah lukisan yang ada di hadapannya. Sungguh, Rachel membenci semua kesempurnaan itu. Ah, tidak, tidak. Dirinya sama sekali tidak bisa untuk membencinya. Rasa kebencian yang ada pada dirinya seolah menguap entah kemana tiap kali memandangi mata itu. Mata yang sangat dicintainya semenjak dulu, yang selalu berhasil membawa sensasi hangat dan nyaman tiap kali ia memandangnya.
Sumber gamepelajar.xyz
Posting Komentar untuk "The Miserable Perfection"