Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Serba-Serbi Tahun Gres Hijriyah

 Di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia Serba-Serbi Tahun Baru Hijriyah

Tahun gres Hijriyah sudah tiba. Di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, hari pertama pada periode gres penanggalan Hijriyah ini pun sudah menjadi hari libur nasional. Meskipun demikian, tidak semua dari kita memahami wacana kalender Hijriyah ini alasannya yaitu secara internasional perhitungan kalender dan waktu yang dipakai yaitu kalender Masehi yang ditentukan menurut peredaran matahari. Untuk lebih mengenal kalender Hijriyah mari kita simak kutipan berikut.


Dikutip dari Wikipedia, Kalender Hijriyah atau Kalender Islam yang pada bahasa Arab disebut التقويم الهجري; at-taqwim al-hijri), yaitu kalender yang dipakai oleh umat Islam, termasuk dalam memilih tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, alasannya yaitu tahun pertama pada kalender ini yaitu tahun di mana terjadi tragedi Hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk dominan Islam, Kalender Hijriyah juga dipakai sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender Islam memakai peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang memakai peredaran Matahari sebagai dasar perhitungannya.


Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab. Sama dengan kalender Masehi, kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah SWT, yaitu :


“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia membuat langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kau menganiaya diri kau dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kau semuanya; dan ketahuilah bekerjsama Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

– At Taubah(9):36 –


Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah memakai bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan angka tahun. Mereka hanya menandai tahun tersebut dengan tragedi besar yang terjadi di dalamnya, ibarat kelahiran Nabi Muhammad SAW yang terjadi pada tahun Gajah. Tahun tersebut disebut tahun Gajah alasannya yaitu pada dikala itu terjadi serangan dari Abrahah, seorang gubernur dari salah satu kawasan di Ethiopia yang menunggang gajah. .


Tak pelak, ketiadaan angka tahun ini pun mengundang kesulitan tersendiri. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur pada zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang dianggap membingungkan alasannya yaitu tanpa mencantumkan angka tahun, hanya tangggggal dan bulan saja. Khalifah Umar kemudian mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka yaitu Utsman bin Affan, r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai awal penentuan kalender Islam.


Ada yang mengusulkan menurut milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan menurut pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima yaitu undangan dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu menurut momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).


Di Indonesia sendiri, momentum tahun gres Hijriyah yang merupakan awal dari periode gres penanggalan Hijriyah ini dianggap sebagai hari yang penting. Bahkan di banyak sekali kawasan di seluruh penjuru Nusantara tahun gres Hijriyah disambut dengan penyelenggaraan acara-acara khusus sesuai dengan budbahasa istiadat dan tradisinya masing-masing. Salah satunya yaitu di Pulau Jawa. Sayang sekali, alasannya yaitu keterbatasan ruang pada artikel ini, saya hanya akan menceritakan beberapa tradisi dari masyarakat Sunda dan Jawa saja.


Kita mulai dari propinsi Jawa Barat, yaitu dari kawasan Cirebon. Di Keraton Kacirebonan yang merupakan salah satu keraton yang terletak di kota ini, peringatan malam 1 Muharram dilaksanakan dengan menggelar tradisi Tumpeng Bogana yang melambangkan puji syukur kepada Allah SWT dan impian akan keberkahan di masa yang akan datang. Dalam tradisi ini, sultan dan masyarakat melaksanakan doa dan zikir bersama sambil mengelilingi keraton, dan diakhiri dengan makan tumpeng bersama-sama.


Sama dengan Keraton Kacirebonan, Keraton Kanoman yang juga terletak di wilayah Cirebon turut menggelar prosesi adat. Perbedaannya, perayaan 1 Muharram di keraton ini diperingati dengan pembacaan babad Cirebon atau sejarah Cirebon dan diakhiri dengan melaksanakan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Babad Cirebon dikutip dari kitab Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Wangsa Kerta pada tahun 1669. Kitab berbahasa Cirebon kuno ini, menceritakan wacana asal-usul Cirebon dan kisah pendiri Keraton Kanoman dan sedikit menyinggung keberadaan Keraton Kasepuhan, Kacirebonan dan Keprabonan.


Beberapa tahun lalu, pembacaan Babad Cirebon kerap digelar di Bangsal Witana yang berada di penggalan belakang keraton. Konon, bangsal ini merupakan bangunan pertama yang berdiri di Cirebon.


Namun, lima tahun ini pembacaan babad Cirebon digelar di penggalan tengah keraton yakni di Bangsal Made Mastaka yang dulu dijadikan sebagai singasana raja. Prosesi ini dilakukan Pangeran Kumisi atau seorang pejabat berpangkat satu tingkat di bawah Patih dengan didampingi tujuh orang Panca Pitu (abdi dalem keraton yang selalu mengiringi setiap ritual) serta tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan.


Selain Cirebon, kawasan lain di Jawa Barat juga tidak ketinggalan mengisi malam 1 Muharram dengan banyak sekali kegiatan, antara lain pawai obor yang biasa diselenggarakan setiap tahunnya di Tasikmalaya dan Garut. Para akseptor pawai ini pun membawa banyak sekali alat musik ibarat beduk, sehingga program ini pun diiringi oleh bacaan shalawat dan zikir.


Di bidang kuliner, perayaan malam 1 Muharram di Jawa Barat pun mempunyai kekhasan, yaitu dengan tradisi membuat bubur merah putih. Dengan demikian bubur ini tidak hanya dihadirkan dalam rangka derma nama bayi saja, tetapi juga dalam perayaan malam 1 Muharram.


Dari Jawa Barat kita bergeser ke arah timur. Dikutip dari www.okezone.com, dalam perayaan 1 Muharram atau disebut pula 1 Suro pada penanggalan Jawa, masyarakat Jawa biasa menghadirkan bubur Suro. Bubur ini tidak dihadirkan sendiri, tetapi disertai dengan banyak sekali uba rampe atau suplemen sesaji, di antaranya yaitu kembar mayang, sirih, dan keranjang berisi aneka buah. Hadirnya suplemen tersebut melambangkan penghormatan pada para leluhur. Sirih lengkap tersebut biasa diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga.


Semua ini disediakan untuk melengkapi ritual dalam budbahasa Jawa menyambut datangnya 1 Suro. Umumnya kembar mayang terdiri atas dua vas bunga. Masing-masing vas berisi tujuh bunga, ibarat mawar merah, mawar putih, bunga melati, serta tujuh lembar daun pandan. Tujuh kuntum bunga ini melambangkan jumlah hari dalam satu pekan. Kembar mayang yang melengkapi hidangan bubur suro ini melambangkan tekad dan keberanian yang dilandasi niat higienis yang disimbolkan oleh bunga mawar putih.


Tidak hanya itu, aneka buah-buahan yang disiapkan juga berisi tujuh jenis buah. Misalnya yaitu jeruk, salak, rambutan, dan buah lainnya. Buah ini melambangkan hasil dari kerja keras.


Masyarakat di beberapa wilayah di Pulau Jawa pun melaksanakan tradisi tirakat, kungkum, dan lek-lekan (tidak tidur semalaman). Tidak sedikit masyarakat yang menyepi di beberapa tempat yang dianggap sakral ibarat di puncak gunung, tepi maritim dan sebagainya.


Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa semenjak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang sempurna untuk melaksanakan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa.


Cara yang biasa dipakai masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi yaitu dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, sempurna pada pukul 24.00 dikala pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai sentra kebudayaan Jawa.


Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah atau pembuka jalan. Kebo Bule merupakan binatang kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya yaitu para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya ibarat Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.


Sementara itu peringatan malam 1 Suro di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dilakukan dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melaksanakan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara ibarat halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.


Sekian dulu goresan pena singkat saya mengenai perayaan tahun gres Islam di beberapa kawasan di Pulau Jawa. Semoga artikel singkat ini sanggup bermanfaat bagi semua. Selamat tahun gres 1439 Hijriyah bagi yang merayakan, semoga tahun yang akan tiba akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan bagi kita semua. Amin.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Serba-Serbi Tahun Gres Hijriyah"