Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa?

Freya


Hujan sore itu mengingatkan saya padanya. Kepergiannya dua demam isu yang kemudian masih meninggalkan ukiran dalam yang tak kunjung sembuh.


***


Sore itu kupandangi pantulan diriku di cermin. Dengan gaun pengantin putih yang sederhana namun elegan. Kebahagiaan di dalam hatiku seolah tak terbendung membayangkan hari esok yang merupakan hari pernikahanku dengan Jason, laki-laki yang luar biasa kucintai.


Perlahan kulepaskan gaun yang tengah kucoba. Kugantung rapi di dalam lemariku.


Aku hanya tinggal seorang diri di sebuah rumah sewaan. Ayahku telah meninggal semenjak saya kecil, sedangkan ibuku gres saja meninggal 5 tahun lalu. Sejak itu saya tetapkan untuk merantau ke Kota Besar. Tak ada seorang keluargapun yang kukenal alasannya semenjak kecil saya hanya tinggal bersama ibuku.

Tak usang sehabis saya pindah ke Kota beruntung saya segera mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kue, sampai saya tak perlu mencicipi kesulitan keuangan serta sulitnya mencari pekerjaan.


Hampir setahun yang kemudian tanpa sengaja saya bertemu dengannya. Di bawah guyuran hujan sore itu saya berteduh di sebuah kanopi di tepi jalan. Tiba-tiba saja sebuah kendaraan beroda empat berhenti di depanku. Dari jendela yang terbuka kulihat seorang laki-laki muda tersenyum mengatakan tumpangan. Wajahnya menyiratkan keprihatinan. Mungkin alasannya ia melihat bajuku yang berair kuyub ketika itu.

Hujan deras disertai angin sore itu memang tak bisa menghindari diriku dari guyuran hujan meski ketika itu saya telah berteduh.


Saat itu saya agak ragu mendapatkan anjuran laki-laki di hadapanku, namun entah mengapa tatapan matanya yang hening dan dalam membuatku tak bisa menolak. Jadilah sore itu saya menumpang mobilnya menuju rumahku.


Sejak ketika itulah saya mengenalnya. Pria pendiam yang menyimpan misteri di dalam matanya yang tenang.


Pertemuan demi pertemuan pun berlangsung. Aku semakin dalam mengenalnya. Entah sebuah kebetulan atau bukan, ternyata iapun seorang anak tunggal dan telah kehilangan kedua orang tuanya.

Ketenangan yang terpancar dari tatapan matanya yang teduh membuatku selalu merasa ia begitu misterius.

Perjumpaan demi perjumpaan yang terjadi menciptakan kami semakin dekat. Hingga suatu malam ia membuatku terpaku dengan ucapannya. Meski bahwasanya saya sudah usang menduga, namun saya tak menyangka kalau ia benar-benar menaruh perhatian yang serius terhadapku.


Tiga bulan berlangsung, ia kembali mengejutkanku dengan permintaannya untuk menikahiku. Aku tak pernah menyangka kalau semua akan secepat ini. Meski demikian saya mendapatkan permintaannya dengan perasaan yang luar biasa bahagia.

Aku ingin ijab kabul yang sederhana. Perbedaan status sosial di antara kami begitu mencolok, dan entah mengapa hal itu membuatku merasa canggung. Dengan aneka macam pertimbangan yang kuberikan, alhasil ia menyetujui keinginanku.


Aku merasa kebahagian ini begitu sempurna, sampai terkadang saya takut kalau kebahagiaan ini hanya sebuah mimpi dan saya akan terbangun dengan dipenuhi perasaan kecewa.


Ketukan di pintu rumahku membuatku terlonjak dari lamunan. Kupandangi lemari yang di dalamnya sekarang tengah tergantung gaun pengantin yang akan kukenakan esok. Tanpa kusadari senyum bahagiapun terbentuk di bibirku.


Setengah bergegas saya membuka pintu rumahku. Aku terkejut mendapati kehadirannya di sana. Tatapan matanya yang biasa nampak hening sekarang terlihat begitu dipenuhi kekalutan. Belum sempat saya mengucapkan apapun kudengar ia berkata,


“Freya, maafkan aku.. Aku tidak bisa menikahimu.. Maafkan aku.”


Aku hanya terpaku menatap kepergiannya dari hadapanku. Cukup usang saya mengulangi perkataannya dalam pikiranku, memilah-milah untuk mendapatkan maksud sesungguhnya.

“Aku tak bisa menikah denganmu. Maafkan aku. Aku tak bisa menikah denganmu. Tak bisa menikah denganmu.”


Satu per satu kata-kata itu jatuh menusuk benakku, mengoyak hati dan jiwaku. Aku tak percaya ini terjadi padaku. Air mata mengalir tanpa sanggup kubendung.


Aku bersandar lemas di balik pintu yang entah kapan telah kututup. Tak ada yang bisa kuingat dan kupikirkan selain perkataan yang menyakitkan itu. Ingin rasanya saya tak mempercayai semua ini. Aku ingin berlari dari mimpi jelek ini. Semua berakhir, cinta, hidup, makna, semua berakhir. Ia telah menghancurkan mimpi dan harapanku dalam sekejap.


Hari-hariku tak lagi sama, tak ada lagi tawa dan kebahagiaan yang bisa kurasakan.

Kini semuanya berlalu tanpa sepenuhnya saya menyadari hidupku.


***


Jason


Entah apa yang harus kuucapkan pada Tuhan. Aku merasa hidup ini begitu tak adil.


Aku harus menghancurkan hidup perempuan yang teramat sangat kucintai. Melihat kepedihan yang harus ditanggungnya akhir perbuatanku menciptakan saya merasa tersayat-sayat. Ia niscaya mengutuk dan membenciku. Aku telah membatalkan ijab kabul kami tanpa penjelasan. Aku sadar ia niscaya teramat sangat membenci diriku, tetapi bagiku akan lebih baik kalau ia tidak tahu alasanku meninggalkannya.


Aku tak ingin ia tahu kalau saya lebih hancur dari pada dirinya. Aku harus membatalkan ijab kabul yang amat kuinginkan. Aku harus menyakiti satu-satunya perempuan yang bisa membuatku mencicipi cinta sebenarnya.


Seandainya malam itu saya tak tetapkan untuk membuka arsip-arsip peninggalan ayahku, mungkin semua kepedihan ini tak akan pernah terjadi.

Malam itu saya tetapkan untuk memaafkan semua kesalahan ayahku, yang gres kuketahui menjelang kematiannya.

Ia menceritakan korelasi gelapnya dengan seorang perempuan yang tak pernah tahu bahwa ayahku telah berkeluarga. Wanita itu menjadi korban kebohongan ayahku. Setelah ia tahu kalau ayahku telah beristri dan mempunyai seorang putra, rahasia ia pergi meninggalkan ayahku tanpa jejak sedikitpun. Saat itu perempuan itu tengah hamil muda. Rasa kecewanya terhadap kebohongan ayahku menciptakan ia mengambil keputusan untuk pergi.

Ayahku menceritakan semua itu padaku ketika menjelang selesai hidupnya. Selama ini ia menanggung rasa bersalah yang teramat besar. Ia tak pernah sanggup menemukan perempuan dan anaknya itu. Ia berharap saya mau memaafkan perbuatannya dan bersedia mendapatkan perempuan dan anaknya itu kalau saya kelak menemukannya.


Di sela-sela tumpukan arsip-arsip peninggalan ayahku saya menemukan foto seorang wanita. Foto yang sama ibarat yang dimiliki Freyaku. Wanitaku. Nama yang sama tertulis di belakang foto itu. Kesadaran yang menyakitkan meremas jantungku. Wanita yang kucintai, perempuan yang esok lusa akan kunikahi yakni adik kandungku sendiri.


Betapa kalutnya pikiranku malam itu, saya tak tahu keputusan apa yang harus kuambil. Melanjutkan ijab kabul ini yakni sebuah kesalahan. Namun menghentikannya akan amat sangat menghancurkan. Semalaman saya tak sanggup tidur memilih tindakan apa yang harus kuputuskan menghadapi kemelut yang menerpa tanpa pernah kuduga.


Cinta, haruskah saya melepaskanmu dan menghancurkan hidup kita.


Dengan remuk-redam alhasil kuputuskan untuk melepaskan semua cinta, hidup dan harapanku.


Melihat wajahnya sore itu hampir saja membuatku tak bisa mengutarakan maksud kedatanganku yang sesungguhnya. Dengan menguatkan hati kukatakan keputusanku ketika itu. Kulihat kebingungan yang tersirat di kedua bola matanya yang bening.


Aku tak bisa menahan air mataku, cepatt-cepat kupalingkan diri dan berlalu, Aku tak ingin menyaksikan kebingungan di matanya menjelma kepedihan. Aku juga tak ingin ia melihat kesedihanku.


Sejak insiden sore itu saya tak pernah lagi menampakan diri di hadapannya. Meski rahasia saya masih terus menjaga dan memperhatikannya.

Tak ada lagi keceriaan yang nampak dari wajah dan kedua matanya. Yang terlihat hanya kemurungan dan kepedihan. Tak jarang saya melihat kedua matanya sembab alasannya terlalu usang menangis. Semua itu menciptakan perasaanku semakin sakit.


Aku berharap wakttu sanggup menyembuhkan luka dalam hatinya. Meski perih, saya menginginkan ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari diriku.


Semua kenangan selama hampir setahun ini akan kusimpan rapat dalam hatiku. Aku akan terus memperhatikan dan menjaganya walau hanya dari kejauhan.


Kini saya mengerti arti kalimat “Cinta tak harus memiliki”.

Karena melihatnya senang dan dalam keadaan baik sudah sangat membuatku senang.


Meski kejam meninggalkannya tanpa alasan, namun saya tak ingin merusak kenangan indah yang telah dibangunnya bersama ibu yang begitu amat dikaguminya.


Oh tuhan, mengapa kami harus bertemu di sore yang berhujan itu?

Kebetulankah? Atau semua ini pecahan dari rencanamu?

Mengapakah kami yang harus menanggung kesalahan orang bau tanah kami?

Semua itu hanya akan terus menjadi sebuah pertanyaan tanpa jawaban.

Aku terjebak dalam retorika kehidupan yang kejam.


Tamat


Tuty Syahrani



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Mengapa?"