Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kursi Dewan Legislatif Untuk Penyandang Disabilitas

Jakarta – Pemilu sebagai syarat berlangsungnya sistem demokrasi sebuah negara ialah perwujudan dari kedaulatan rakyat tanpa terkecuali. Termasuk di dalamnya ialah penyandang disabilitas yang di negara berkembang ibarat Indonesia, oleh WHO diprediksi jumlahnya 10 persen dari total penduduk. Namun apakah sistem yang ada ketika ini sudah bisa mengakomodasi aspirasi dari kelompok minoritas ibarat penyandang disabilitas?


Bentuk paling konkret terwakilinya aspirasi sebuah kelompok masyarakat ialah ada tidaknya wakil di parlemen, dari mulai dewan perwakilan rakyat RI dan DPD RI di tingkat nasional, dan DPRD di tingkat provinsi serta kota dan kabupaten. Namun di abad pemilihan pribadi yakni semenjak 2004, dimana MPR yang terdiri dari dewan perwakilan rakyat dan DPD dipilih pribadi oleh rakyat, wakil di tubuh legislatif yang seorang penyandang disabilitas malah hampir tidak ada, padahal jumlahnya sangat banyak. Kemana bunyi penyandang disabilitas?


Sebelum menuju ke sana, ada baiknya dipahami mengapa perlu ada keterwakilan sebuah kelompok di parlemen, termasuk masyarakat penyandang disabilitas. Dua hal dari banyak fungsi tubuh legislatif sebagai legislatif yang penting yaitu kemampuan untuk menciptakan regulasi atau peraturan dan pengawasan pada direktur sebagai pelaksana dari peraturan tersebut.


Undang-undang ialah peraturan tertinggi yang sanggup dibentuk oleh tubuh legislatif sehabis konstitusi atau UUD 1945. Peraturan ini akan menjadi payung atau contoh dari semua peraturan pelaksananya dari mulai Peraturan Pemerintah, Peraturan Daeraah, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Daerah, dst. Berdasar dengan peraturan-peraturan tersebutlah pemerintahan sentra dan kawasan ini berjalan. Karena pada hakikatnya kebijakan negara didasarkan atas peraturan yang telah dibuat. Misal kau ingin ada kebijakan aplikasi pembaca layar gratis yang sanggup dipakai oleh seluruh tunanetra di Indonesia, maka harus ada terlebih dahulu Peraturan Menteri yang kementeriannya bertanggung jawab, yang merujuk pada Peraturan Pemerintah, dan Undang-undang sebagai payung hukumnya.


Lalu untuk menjamin pelaksanaan peraturant ersebut oleh pemerintah sentra atau kawasan berjalan dengan baik, tubuh legislatif mempunyai wewenang untuk melaksanakan pengawasan. Jika diperlukan, tubuh legislatif sanggup memanggil pihak pelaksana kebijakan, ibarat kementerian atau dinas di pemerintah kawasan untuk memantau progress pelaksanaan. Para wakil rakyat di tubuh legislatif juga sanggup menunjukkan masukan atau memberikan temuan-temuan ketidak-sesuaian pelaksanaan kebijakan yang disampaikan oleh rakyat ke para wakilnya.


Sehingga demikian, penting sekali adanya keterwakilan penyandang disabilitas di bangku parlemen. Karena idealnya aspirasi masyarakat penyandang disabilitas seyogyanya dikawal juga oleh penyandang disabilitas pula. Bukan berarti tidak ada wakil rakyat non-disabilitas yang punya kepedulian mengenai informasi penyandang disabilitas, tapi tentu akan berbeda apabila penyandang disabilitas sendiri yang mengawal informasi kepentingan komunitasnya. Sebab untuk mereka, informasi disabilitas akan menjadi top of mind di antara banyak kewajiban dan informasi yang harus diperjuangkan oleh seorang wakil rakyat.


Bagaimana kondisi keterwakilan penyandang disabilitas di tubuh legislatif ketika ini? Terakhir ada perwakilan penyandang disabilitas yaitu dalam fraksi utusan golongan di MPR periode 1999 – 2004 yang anggotanya diangkat oleh pemerintah untuk mewakili kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat. Wakil dalam fraksi Utusan Golongan bukan dipilih sebab banyaknya bunyi yang didapat, tapi ditunjuk oleh pemerintah secara langsung. Di abad pemilihan pribadi semenjak 2004, hampir tak ada caleg penyandang disabilitas yang memperoleh cukup bunyi untuk masuk ke Senayan.


Sebetulnya dengan sistem proposional terbuka untuk menentukan anggota legislatif, sanggup menunjukkan efek positif sekaligus negatif untuk caleg penyandang disabilitas. Mulai 2009, di kertas bunyi untuk calon anggota dewan perwakilan rakyat dan DPRD, pemilih sanggup menentukan pribadi nama caleg bukan hanya lambang partai. Ini berarti urutan nomer caleg tidak kuat pada kemungkinannya mendapat bangku di parlemen. Berbeda dengan sistem tertutup yang bunyi didistribusikan oleh partai ke urutan caleg yang ditentukan oleh partai. Makara apabila di deretan nama caleg pada partai tersebut ada wakil penyandang disabilitas, nama tersebut pribadi sanggup dipilih tanpa diberikan ke caleg lainnya.


Namun dengan kondisi pendidikan politik yang masih rendah dan tersebarnya domisili penyandang disabilitas, menciptakan sistem proporsional terbuka ini tidak terlalu menguntungkan untuk wakil penyandang disabilitas. Selain itu, menjadi lebih berat juga, dengan kondisi Indonesia yang belum sepenuhnya inklusif, untuk caleg penyandang disabilitas sanggup bersaing dengan caleg non-disabilitas dari sisi popularitas dan kapital.


Maka dari itu, perlu ada afirmative actions atau upaya-upaya afirmasi untuk menghadirkan keterwakilan masyarakat disabilitas di sistem demokrasi pribadi kita. Ada dua hal yang penulis ejekan sebagai upaya afirmasi. Pertama yaitu penetapan kuota minimal 10 persen untuk para caleg yang diajukan tiap partai untuk diikut-sertakan dalam pemilu legislatif. Hal ini mencontoh kebijakan gender mainstreaming yang sudah ada yaitu 20 persen minimal caleg adala wanita untuk tiap partai. Tentu hal serupa pun sanggup diterapkan untuk informasi disabilitas sebagaimana disability mainstreaming juga sedang berkembang.


Kedua yaitu pembuatan dapil khusus atau kebijakan serupa yang memungkinkan caleg disabilitas hanya akan bersaing dalam perolehan bunyi dengan caleg disabilitas lainnya. Hal ini untuk memastikan bahwa akan ada keterwakilan penyandang disabilitas di semua tingkatan forum legislatif, siapapun caleg yang terpilih. Usulan ini mungkint erkesan ekstrim, tapi cukup layak diperjuangkan oleh masyarakat penyandang disabilitas dan pihak-pihak yang bersimpati sehingga ada langkah taktis dalam memastikan terakomodasinya aspirasi penyandang disabilitas.


Sebagai kesimpulan, keterwakilan penyandang disabilitas ialah sebuah keniscayaan sebab dengan jumlah yang sangat besar, tak adil rasanya bila tak ada keterwakilan di legislatif. Maka perlu adanya pendidikan politik untuk para penyandang disabilitas sehingga sadar akan hak politik yang tak hanya untuk memilih, tapi juga untuk dipilih. Tentu dibutuhkan usaha panjang untuk mewujudkan hal tersebut. Maka dari itu sinergitas dan keselarasan visi mutlak dibutuhkan biar harapan bangku tubuh legislatif untuk penyandang disabilitas sanggup terwujud. (DPM)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kursi Dewan Legislatif Untuk Penyandang Disabilitas"